Selasa, 26 Juni 2012

SOAL UJIAN FILSAFAT ILMU


SOAL UJIAN FILSAFAT ILMU
                                                Dosen  : Dr. Ridha Ahida, M.Hum
                                                Semester Genap TA 2011/ 2012

1.Bagaimana pendapat saudara tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam kerangka ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu dan kaitannya dengan pengembangan MAN, Pondok Pesantren, STAIN, IAIN dan UIN.

2.Berdasarkan objek materi dan objek forma ada tiga metode ilmu : ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan. Jelaskanlah metode pada ketiga ilmu tersebut. Dan bagaimana dengan metode pada ilmu-ilmu keIslaman?

3.Bagaimana pendapat saudara tentang sejarah perkembangan filsafat ilmu pengetahuan sejak abad klasik (Yunani) sampai dengan abad kontemporer. Bagaimana corak filsafat ilmu pengetahuan pada setiap periode tersebut dan pengaruhnya terhadap pemikiran keagamaan.

4. Filsafat, agama dan ilmu merupakan tiga titik pencarian kebenaran. Bagaimana tanggapan saudara tentang posisi ketiga entitas tersebut dalam kehidupan manusia, apakah mungkin disatukan atau tidak dan format yang terwujud darinya.



  
                                               
                                                  SELAMAT UJIAN SEMOGA SUKSES

Rabu, 06 Juni 2012

PERMASALAHAN DALAM PENATAAN PENDIDIKAN ISLAM MENUJU PENDIDIKAN YANG BERMUTU




A.      Pendahuluan
Mutu pendidikan merupakan hal yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk dicapai, sebab pendidikan akan menjadi sia-sia bila mutu proses dan lulusannya rendah. Lebih parah dan menyedihkan lagi jika out put pendidikannya menambah beban masyarakat, keluarga, dan negaranya. Masyarakat dan berbagai lembaga pendidikan Islam berkeinginan untuk menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pendidikan alternatif. Pemikiran semacam ini memerlukan paradigma baru untuk meningkatkan kualitan pendidikannya, diperlukan penataan program pendidikan Islam mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum dan materi pembelajaran, strategi dan metode, manajemen dan kepemimpinan yang berkualitas, dana, dan dukungan pemerintah dan penerimaan masyarakat terhadap prodak pendidikan Islam.
Reformasi di Indonesia seakan menjadi cahaya impian yang akan memberikan banyak perubahan kehidupan bagi bangsa ini, khusunya pada sektor pendidikan. Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian, justru pendidikan di bumi Indonesia semakin menjadi problem baru, yakni lahirnya ambiguisitas dalam wilyah pendidikan yang terus berjalan di Indonesia. Kondisi ironis pendidikan tersebut adalah mengenai goal setting yang ingin dicapai sistem pendidikan. Gambaran riil adalah lahirnya tipe mechanic student di mana setiap peserta didik sudah diposisikan pada orientasi pasar sehingga pendidikan bukan lagi berbasis keilmuan dan kebutuhan bakat peserta didik.
Selain itu, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Artinya, anak bangsa dihadapkan pada ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, penyuguhan uang “persembahan”, pemakaian seragam baru, pembelian “ramuan-ramuan” buku-buku paket baru, dan segudang ritual lain. Muncul, ambiguisitas kebijakan pemerintah yang sebenarnya sebagai pengelola potensi anak bangsa, namun pemerintah justru menjadi penjaga mitos pendidikan. Pemerintah dengan sangat percaya diri memilih posisi lebih berpihak pada kelangan elite, maka muncul adigium lelang pendidikan  Permasalahan pendidikan di Indonesia secara umum adalah kualitas, relevansi, elitisme, dan manajemen. Berbagai indikator kuantitatif dikemukakan berkenaan dengan keempat masalah di atas, antara lain analisis komparatif yang membandingkan situasi pendidikan antara negara di kawasan Asia. Keempat masalah tersebut merupakan masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung pangkal pemecahannya.
Permasalahan ini terjadi pada pendidikan secara umum di Indonesia, termasuk pendidikan Islam yang dinilai justru lebih besar problematikanya. Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.
 Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Dalam Undang-Undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-sistem pendidikan nasional. Jadi sistem pendidikan itu satu yaitu memanusiakan manusia, tetapi pendidikan memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang (pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program diploma, sekolah tinggi, institusi, universitas) dan hakekat pendidikan adalah mengembangkan harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar mampu menjadi khalifah. Pendidikan Islam menjadi satu dalam sistem pendidikan nasional, tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobatkan” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin, memproduk orang yang eksklusif, fanatik, dan bahkan pada tingkah yang sangat menyedihkan yaitu “terorisme-pun” dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena pada kenyataannya beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat berasalnya kelompok tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak, sebab tidak ada lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk memproduk atau mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu.
 Tetapi realitas di masyakarat banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem, proses, dan orientasi pendidikan Islam. Hal ini, merupakan suatu kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Olah karena itu, muncul tuntutan masyarakat sebagai pengguna pendidikan Islam agar ada upaya penataan dan modernisasi sistem dan proses pendidikan Islam aga menjadi pendidikan yang bermutu, relevan, dan mampu menjawab perubahan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dengan demikian, penataan model, sistem dan proses pendidikan Islam di Indonesia merupakan suatu yang tidak terelakkan, untuk menjawab permintaan dari arus globalisasi yang tidak dapat dibendung lagi dan menjawab predikat keterbelakangan dan kemunduran yang selalu melekat pada pendidikan Islam. Hemat penulis, strategi pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih dari kegiatan pendidikan yang paling mendesak, berposisi senteral yang akan menjadi modal dasar untuk usaha penataan dan pengembangan selanjutnya. Katakan saja, perubahan paradigama, visi, misi, tujuan, dana, dan sampai pada program-program pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan dalam negeri ini, seperti: perubahan kurikulum pendidikan secara terarah dan kontinu agar dapat mengikuti perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi.

B.       Permasalahan
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan salah satu variasi dari pendidikan Islam tidak memiliki kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Terasa janggal dan lucu, dalam komunitas masyarakat muslim terbesar, pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Selain itu, paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional, sebab pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Maka, perhatian pemerintah yang dicurahkan pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran masyarakat yang sosialistis religius. Dari sinilah timbul pertanyaan, bagaimanakah kemampuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menata, mengatasi, dan menyelesaikan problem-problem yang dihadapi menuju pendidikan bermutu dan unggul.
Langkah awal yang diperhatikan untuk melakukan penataan pendidikan Islam, harus menganalisis dari aspek kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman. Pertama, pendidikan Islam (pesantren, madrasah, sekolah yang bercirikan Islam, dan perguruan tinggi) lebih besar > 80 % dikelola oleh swasta. Dalam pengelolaannya lebih percaya dan hormat pada ulama, percaya bahwa guru mengajarkan sesuatu yang benar, panggilan agama, ibadah, ikhlas, murah, merakyat. Hal ini merupakan kekuatan (strengt) dalam pengelolaan pendidikan Islam. Kedua, kelemahan (weakness), bahwa pendidikan Islam posisinya lemah, tidak profesional hampir disemua sektor dan komponennya, stress, terombang-ambing antara jati dirinya, apakah ikut model sekolah umum atau antara ikut Kemendiknas dan Kemenag. Belum ada sistem yang mantap dalam pengembangan model pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Ketiga, kesempatan (opportunities), bahwa dalam UU No.20 Th. 2003 memberi kesempatan atau momentum pengembangan pendidikan agama dan keagamaan. Pendidikan Islam diakui sama dengan pendidikan yang lain. Keempat, ancaman (treat), bahwa banyak lembaga pendidikan lain yang lebih tangguh dan berkualitas, Ilmu dan teknologi yang berkembang sangat pesat berlum terkejar oleh pendidikan Islam, pendidikan Islam kehilangan jati dirinya, pendidikan Islam selalu menjadi warga kelas dua, tercabut dari akar budaya komunitas muslimnya.
Dalam perspektif pendidikan, mungkin akan bertanya mampukah kita menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan Islam yang menghasilkan lulusan-lusan yang ”mampu memilih” tanpa kehilangan peluang dan jati dirinya. Memang samapi sekarang, perlakuan pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan Islam masih tetap sama, diskriminatif. Sikap inilah yang menyebabkan pendidikan Islam sampai detik ini terpinggirkan.
Terpinggirnya pendidikan Islam dari persaingan sesungguhnya dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal, pertama,meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan kemendiknas yang umumnya dikelola secara modern. Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar,umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar.
Hal ini terjadi karena sistem pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru. Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan. Kepala madrasah seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis dari pada pendekatan kolegial profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like and dislike, dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
Faktor eksternal yang dihadapi pendidikan Islam adalah pertama, adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Pemerintah selama ini cenderung menganggap dan memperlakukan pendidikan Islam sebagai anak tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja, alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan kemendiknas. Maka, terlepas itu semua, apakah itu urusan kemenag atau kemendiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, karena pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum. Faktor kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah kemendiknas.
Beberapa indikator yang menunjukkan kesenjangan ini yaitu mulai dari tingkat ketersediaan tenaga guru, status guru, kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan (unit cost) siswa, hingga tidak adanya standardisasi mutu pendidikan Islam, karena urusan pendidikan Islam tidak berada di bawah kemendiknas, dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam. Faktor ketiga, adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan Islam. Secara jujur harus diakui, bahwa masyarakat selama ini cenderung acuh terhadap proses pendidikan di madrasah atau sekolah-sekolah Islam. Rata-rata memandang pendidikan Islam adalah pendidikan nomor dua dan biasanya bila menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan kemendiknas.
Diakui bahwa perkembangan pendidikan Islam pada akhir-akhir ini secara berangsur-angsur mulai terasa kemajuannya, hal ini terbukti dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan beberapa model pendidikan yang ditawarkan, yang menunjukan harapan untuk mampu bersaing. Tetapi masih banyak yang memerlukan penataan.
Maka untuk menuju pendidikan yang bermutu dan unggul, pendidikan Islam hendaknya berupaya maksimal untuk membenahi dan melakukan penataan kembali terhadap masalah internalnya, seperti persoalan manajemen, kemampuan kepemimpinan, kompetensi dan profesional guru. Manajemen pendidikan yang bersifat klasik harus ditinggalkan dan berfokus kemanajemen berbasis mutu. Manajemen memiliki visi, missi, goals dan strategi yang akan diterapkan dalam mencapai tujuan. Namun visi, missi dan goals pun jangan hanya akan menjadi tumpukan berkas perencanaan yang tidak dapat diwujudkan secara nyata apabila kita tidak memiliki rencana strategi yang baik dan tepat.

C.      Solusi dari Permasalahan
Dari paparan di atas, menurut hemat penulis bahwa inovasi atau penataan fungsi pendidikan Islam harus dilakukan, terutama pada sistem pendidikan persekolahan harus diupayakan secara terus menerus, berkesinambungan, berkelanjutan, sehingga usahanya dapat menjangkau pada perluasan dan pengembangan sistem pendidikan Islam luar sekolah. Harus dilakukan inovasi kelembagaan dan tenaga kependidikan. Tenaga kependidikan harus ditingkatkan etos kerja dan profesionalismenya. Perbaikan pada aspek materi [kurikulum], pendekatan, dan metodologi yang masih berorientasi pada sistem tradisional, perbaikan pada aspek manajemen pendidikan itu sendiri. Tetapi usaha melakukan inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi harus secara mendasar dan menyeluruh, mulai dari fungsi, tujuan, metode, strategi, materi (kurikulum), lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Dengan kata lain, penataan pendidikan Islam haruslah bersifat komprehensif dan menyeluruh, baik pada tingkat konsep maupun penyelenggaraan; tidak lagi adhoc dan incremental seperti sering terjadi di masa silam.
Penataan fungsi pendidikan Islam, tentu dengan memperhatikan dunia kerja, sebab dunia kerja mempunyai andil dan rentang waktu yang cukup besar dalam jangka kehidupan pribadi dan kolektif. Dari gambaran tersebut di atas, tanpaknya  perlu menyusun langkah-langkah strategi sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan pendidikan Islam pada peran yang semestinya dengan berusaha menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga pendidikan Islam kembali bersifat aktif progresif. Langkah-langkah strategi tersebut diantaranya, yaitu: Pertama, dikembangkan dan dijabarkan atas konsep dasar kebutuhanan manusia. Perlu menempatkan kembali seluruh aktivitas pendidikan di bawah “kerangka dasar kerja spritual”. Seluruh aktivitas intelektual dan proses pendidikan senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktivitas pendidikan sebagai upaya menegakkan ajaran agama dengan memanusiakan manusia dalam konteks kehidupannya. Kedua, perlu ada perimbangan (balancing) antara disiplin atau kajian-kajian agama dengan pengembangan intelektualitas dalam program kurikulum pendidikan. Sistem pendidikan Islam harus menganut integrated curriculum, artinya perpaduan, koordinasi, harmonis, dan kebulatan materi-materi pendidikan dengan ajaran Islam, dan bukan separated subject curriculum maunpun correlated curriculum.
Maka dengan konsep integrated curriculum, proses pendidikan akan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama dengan kajian lain (non-agama) dalam pendidikan Islam yang merupakan suatu keharusan, apabila menginginkan pendidikan Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat. Ketiga, perlu dikembangkan pendidikan yang berwawasan kebebasan, sehingga insan akademik dapat melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal. Kenapa demikian, karena selama masa kemunduran Islam, telah tercipta stigma dengan dikondisikan banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan, perbedaan pandapat dan pandangan yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual rasional. Kesempatan berijtihad yang selama ini di anggap tertutup juga menjadi malapetaka bagi perkembangan pemikiran “rasional intelektual” dan ikut terkubur. Kita tidak mempunyai ruang bebas untuk mengekspresikan pemikiran, pandangan, dan gagasan. Apabila muncul pemikiran baru yang berbeda dengan mainstream, seringkali dianggap sebagai pengkaburan, penyesetan dan penyimpangan dari agama dan kadang kala, kritik terhadapan pandangan dan pemikiran keagamaanpun dianggap sebagai kritik terhadap otoritas Tuhan, nabi dan lain-lain. Agama kemudian dijadikan sebagai otoritas baru untuk memasung dan mengkerdilkan (membonsai) pemikiran-pemikiran inovatif yang muncul.
Maka, dengan upaya menghilkangkan atau minimal membuka kembali sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan dan kajian, akan menjadikan wilayah pengembangan intelektual semakin luas yang tentu membuka peluang lebar bagi pengembangan keilmuan didunia pendidikan Islam pada khususnya dan Islam pada umumnya. Keempat, mulai melakukan strategi pendidikan yang membumi pada kebutuhan nyata masyarakat yang akan menghartar peserta didik pada kebutuhan akhirat. Mengembangkan pendidikan Islam berwawasan kebudya dan masyarakat, pendidikan yang berwawasan kebebasan dan demokrasi, pendidikan yang menyenangkan dan mencerdaskan. Diperlukan pendidikan yang menghidupkan kembali tradisi intelektual yang bebas, dialogis, inovatif, dan kreatif. adalah sahabat agama (syariah), dan saudara sesunya. Agama dan kebebasan berpikir merupakan dua mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan.
Dari pandangan ini kebebasan berpikir mutlak diperlukan untuk melahirkan intelektualintelektual yang memiliki pandangan keagamaan yang baru, segar, dan jernih. Kita berharap disain pendidikan Islam pada era informasi, era globalisasi, menjadi era berhembusnya kebebasan berpikir, sehingga mendorong lahirnya pemikir-pemikir keagamaan yang memiliki kemampuan bersaing, kritis, transformatif, inovatif, dan konstruktif dalam menghadapi tantang perubahan.
Dengan demikian mutu pendidikan merupakan hal yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk dicapai. Sebab pendidikan akan menjadi sia-sia bila mutu proses dan lulusannya rendah, tidak terbangun jiwa jika out put pendidikannya menambah beban masyarakat, keluarga, dan negaranya. Saat sekarang ini, ada keinginan dari masyarakat dan berbagai lembaga pendidikan Islam untuk menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pendidikan alternatif. Tetapi pemikiran ini memerlukan paradigma baru untuk meningkatkan kualitan pendidikannya.
Kelemahan pendidikan Islam dewasa ini, disebabkan oleh faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman interpretasi (insight), kelemahan kelembagaan [organisasi], kelemahan ilmu dan teknologi. Apabila hal ini menjadi fokus, maka pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi, tidak hanya terkait dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga strategi dan taktik operasional dan metodologinya. Strategi dan taktik itu, bahkan sampai menuntut perombakan model-model sampai dengan institusi-institusinya dan cultural dalam menunjukkan perannya untuk mewujudkan pendidikan Islam yang bermutu dan unggul.
Berbicara tentang pendidikan yang mutu dan unggul, tentu saja harus didasarkan pada suatu standar dan ukuran kemajuan (benchmark) tertentu yang terbuka (accountable), sehingga publik dengan mudah mengikuti dan menilai kemajuan pendidikan yang ada. Apakah pendidikan yang bermutu dan unggul dapat dilihat dari lulusan dengan nilai tinggi atau dilihat dari lulusannya dapat diserap pasar dengan cepat, ataukah dinilai oleh Badang Akreditasi Nasional [BAN] dengan predikat terakreditasi dengan nilai A, B, dan C atau tidak terakreditasi memiliki kompetensi untuk mengajar.  
Realitas menunjukkan banyak siswa lulus SLTA memiliki nilai tinggi, tapi tidak dapat meneruskan ke perguruan tinggi, karena disebabkan oleh biaya, orang tua tidak mampu. Sarjana lulus dengan nilai tinggi, ujung-ujungnya menjadi buruh/ pedagang, pengangguran, lantaran tidak memiliki koneksi, walaupun hal yang ditekuni dan dikerjakan memang tidak salah, tetapi tidak macht atau mismacht dengan pendidikan yang ditekuni. Inilah kondisi yang dihadapi pendidikan di negeri ini. Selain itu, manusia unggul seperti apa yang dikehendari dari produk pendidikan, karena bukan sekedar pendidikan yang unggulan.
Dalam konteks historis, manusia yang dapat dijadikanteladan adalah menusia yang dikategori unggulan bukanlah semata-mata ditentukan lembaga pendidikan yang membesarkannya, malahan lebih banyak dihasilkan oleh keluarga atau masyarakat yang mengelilinginya. Lembaga pendidikan pesantren, biayanya murah, santri banyak yang gratis, dianggap tradisonal, tetapi banyak melaihrkan para pahlawan, para tokoh pemikir bangsa. Maka dalam konteks ini, proses pendidikan di pesantren lebih berlaku dan faktor utamanya adalah keteladanan, kesungguhan, kerendahan hati, kesederhanaan, keikhlasan, yang dibangun oleh kiai dan para gurunya dalam proses, tetapi nilai-nilai ini pada zaman sekarang lebih mendapatkan respons yang kurang baik.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan yang bermutu dan unggul adalah memiliki visi, misi, dan tujuan yang jelas, memiliki program pendidikan dan pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat, inovatif dan pengembangan ilmu dan teknologi, memiliki sumberdaya yang profesional, memiliki manajemen yang profesional dan bertanggungjawab. Lulusannya memiliki standar kompetensi pengetahuan (knowledge) kognitif yang memadai, memiliki kemampuani afektif yang anggun, yaitu memiliki kepribadian dan moral yang tinggi, jujur, bertanggungjawan, dan bersamangat untuk melakukan inovasi, memiliki kemampuan psikomotorik yang tinggi, memiliki skill untuk menjawab kabutuhan masyarakat, melakukan kegiatan secara terampil, dan memiliki kemampuan bertindak yaitu menghasilkan sesuatu yang konkrit dan menghasilkan jasa, serta dapat diserap pasar atau pengguna pendidikan.
Dengan dasar ini, maka pendidikan Islam perlu membangun sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas, dilandasai dengan nilai-nilai ilahiyah, kemanusian (insaniyah), lingkungan dan berbudaya, manajemen pendidikan dengan berorientasi pada profesionalisme dan mutu, menyerap aspirasi dan mendayagunakan potensi masyarakat, berorientasi pada otonomi, meningkatkan demokratisasi penyenggaraan pendidikan, serta memenuhi permintaan perubahan arus globalisasi. Katakan saja, konsep hasil belajar yang lebih baik tentu saja berorientasi pada kemampuan kognitif, psikomotorik, afektik, dan tindakan. Kemampuan bertindak terkait erat dengan pendidikan life skills, artinya ketika lulusan dari satuan pendidikan Islam, sudah memiliki pengalaman yang cukup memadai dari kehidupan pendidikannya untuk melakukan sesuatu di masyarakat, yaitu berkewajiban mencari, menemukan dan memanfaatkan ilmu bagi keperluan kehidupan umat manusia, sekaligus juga harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi selanjutnya jika dengan ilmu itu menimbulkan kerusakan lingkngan.
Dalam kerangka ini, menurut penulis pendidikan Islam harus berupaya untuk: Pertama, mengembangkan konsep pendidikan integralistik, yaitu pendidikan secara utuh yang berorientasi pada Ketuhanan, kemanusiaan dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang rahmatan lil’alamin . Kedua, mengembangkan konsep pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang berorieintasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi) dengan menghargai hah-hak asasi manusia, hak untuk menyuarakan pendapat walaupun berbeda, mengembangkan potensi berpikir, berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Ketiga, mengembangkan konsep pendidikan pragmatis, yaitu memandang manusia sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik jasmani maupun rohani dan mewujudkan manusia yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, mengembangkan konsep pendidikan yang berakar pada budaya yang akan dapat mewujudkan manusia yang mempunyai kepribadiaan, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri, membangun budaya berdasarkan budaya sendiri dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Secara umum, konsep pendidikan Islam yang ditawarkan adalah pendidikan yang berorientasi pada kompetensi nilai-nilai ilahiyah, knowledge, skill, ability, social-kultural dan harus berfungsi untuk memberikan kaitan secara operasional antara peserta didik dengan masyarakatnya, lingkungan sosial-kulturalnya, dan selalu menerima dan ikut serta melakukan perubahan.

PERMASALAHAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM ERA GLOBALISASI




A.      Pendahuluan
Peran pendidikan sangat penting dalam kehidupan manusia bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia. Dengan kata lain, kebutuhan manusia terhadap pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Jika sistem  pendidikanya berfungsi secara optimal maka akan tercapai kemajuan yang dicita-citakanya sebaliknya bila proses pendidikan yang dijalankan tidak berjalan secara baik maka tidak dapat mencapai kemajun yang dicita-citakan.
Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontibusinya pendidikan. misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan: “Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.
Namun didalam dunia pendidikan sendiri banyak masalah-masalah pendidikan yang dihadapi di era globalisasi ini. Baik itu masalah yang bersifat internal maupun eksternal. Tulisan ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan Islam di era globalisasi. Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam tulisan ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun sebelum menguraikan permasalahan pendidikan islam di era globalisasi, terlebih dahulu disajikan uraian singkat tentang fungsi pendidikan. Uraian yang disebut terakhir ini dianggap penting, karena permasalahan pendidikan pada hakekatnya terkait erat dengan realisasi fungsi pendidikan.
Fungsi Pendidikan Pasal 3 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rumusan pasal 3 UU No. 20/2003 ini terkandung empat fungsi yang harus diaktualisasikan olen pendidikan, yaitu:
1.      Fungsi mengembangkan kemampuan peserta didik,
2.      Fungsi membentuk watak bangsa yang bermartabat,
3.      Fungsi mengembangkan peradaban bangsa yang bermartabat, dan
4.      fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara umum pendidikan adalah sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya fikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional). Pendidikan merupakan aktivitas yang diorientasikan kepada pengembangan individu manusia secara optimal. Pendidikan Islam juga suatu proses yang melatih perasaan murid-murid dengan cara sedemikian rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan mereka yang di pengaruhi  dengan  nilai-nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai-nilai Islam. Menurut Hasan Langulungan pengertian ilmu pendidikan Islam adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peran memindahkan pengetahuan, dan nilai-nilai islam yang dijelaskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasinya di akhirat.
Sedangkan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri adalah terwujudnya menusia sempurna. Atau manusia bertaqwa kepada Allah SWT. Juga tujuan dari pendidikan Islam itu ialah menimbulkan pertumbuhan yang seimbang  dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual dan intelektual, rasional diri.
Sedangkan globalisasi adalah berasal dari kata global ialah seluruhnya, menyeluruh. Sedangkan globalisasi ialah pengglobalan secara keseluruhan aspek kehidupan, perwujudan secara menyeluruh disegala aspek kehidupan. Kemudian pengertian secara luas globalisasi adalah proses pertumbuhan negara-negara maju (Amerika, Eropa dan Jepang) melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha mendominasi dunia dengan kekuatan teknologi, ilmu pengetahuan, politik, budaya, militer dan ekonomi.
Bila dipelajari lebih jauh, globalisasi membawa pengaruh terhadap negara-negara berkembang yang baru terlepas dari belenggu penjajahan, baik positif maupun negatif. Pengaruh positif dari globalisasi yaitu membantu/ mendorong negara-negara baru berkembang untuk maju secara teknis, serta menjadi lebih sejahtera secara material. Sedangkan pengaruh negatifnya adalah munculnya teknokrasi yang sangat berkuasa, didukung oleh alat-alat teknik modern dan persenjataan yang canggih. Mengapa alat-alat dan teknik yang modern serta persenjataan menjadi pengaruh negatif. Karena seringkali bagi Negara yang berkuasa, mereka menyalahgunakan teknologi tersebut, seperti halnya ilmu pengetahuan, mesin-mesin, pesawat hyper modern yang digunakan/dijadikan mekanisme operasionalistik yang menghancurkan.
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global. Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia.
Jadi dapat dipahami bahwasanya maksud dari pendidikan Islam di era globalisasi ialah bagaimana pendidikan Islam itu mampu menghadapi perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan yang penuh dengan tantangan yang harus dihadapi dengan pendidikan yang lebih baik lagi.

B.       Permasalahan
1.      Masalah Kualitas Pendidikan
Dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan aktual pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas artinya dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah).
2.      Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan.
Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan). Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.


3.      Masalah kebudayaan (alkulturasi)
Kebudayaan yaitu suatu hasil budi daya manusia baik bersifat material maupun mental spiritual dari bangsa itu sendiri ataupun dari bangsa lain. Suatu perkembangan kebudayaan dalam abad moderen saat ini adalah tidak dapat terhindar dari pengaruh kebudayan bangsa lain. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya proses alkulturasi yaitu pertukaran dan saling berbaurnya antara kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Dari sinilah terdapat tantangan bagi pendidikan-pendidikan islam yaitu dengan adanya alkulturasi tersebut maka akan mudah masuk pengaruh negatif bagi kebudayaan, moral dan akhlak anak. Oleh karena itu hal ini merupakan tantangan bagi pendidikan islam untuk memfilter budaya-budaya yang negatif yang diakibatkan oleh pengaruh budaya-budaya barat.
Berdasarkan hal tersbut maka dapat diketahui bahwa sangat disayangkan hingga kini lembaga-lembaga pendidikan Islam masih sulit dijadikan model lembaga pendidikan yang paripurna dan berlaku umum di Indonesia. Hal ini disebabkan lemahnya kinerja yang ditunjukkan serta rendahnya motivasi untuk menjadikan lembaga pendidikan Islam ini sebagai "kawah candradimuka" para intelektual yang agamis dan para ulama yang intelektual. Kurangnya kesungguhan penyelenggara pendidikan Islam dalam mengelola lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan sekolah berbasis keislaman disinyalir karena kesadaran umat Islam atas kewajiban menuntut ilmu masih rendah.
Gejala rendahnya budaya membaca, belajar dan bekerja keras menunjukkan bahwa pemahaman umat Islam tentang nilai-nilai Islam belum merata dan menjadi hambatan untuk maju berprestasi. Pengelola merupakan pencerminan dari kondisi umat islam yang tidak terlepas dari hambatan kultural internal tersebut. Pengelola belum mampu bangkit menjadi "agent of change", para pembaharu perilaku dan budaya untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam bentuk ketauhidan social seperti menegakkan disiplin sekolah secara ajeg dan konsisten, menyebarkan budaya membaca dan bekerja keras serta nilai-nilai social keislaman lainnya.
Kondisi internal umat Islam yang masih lemah untuk menanam-suburkan nilai-nilai Islam itu oleh para penyelenggara dan pengelola pendidikan Islam, pada akhirnya berpengaruh juga pada persepsi masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam. Fenomena kondisi cultural umat Islam yang menyelenggarakan pendidikan Islam merupakan aspek internal yang saling kait mengkait dengan persepsi umat Islam di luar lembaga tersebut. Sehingga kedua-duanya (kultural internal dan eksternal) menjadi hambatan bagi kemajuan dan pengembangan mutu penyelenggaraaan pendidikan Islam. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terpengaruh dengan paradigm bahwa pendidikan Islam hanya berkutat pada masalah agama dan kurang menaruh perhatian pada pengembangan aspek-aspek lainnya seperti kecerdasan intelektual dan sosial.
Hambatan kultural baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) masih ditambah dengan sistem pendidikan nasional yang terkesan juga terjebak diskursus dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan agama. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terbentuk sangat kuat tentang hal itu. Terlebih lagi penguasaan agama sebagian umat Islam juga masih rentan dipengaruhi budaya-budaya lokal setempat yang ternyata ssulit dihilangkan, bahkan cenderung dapat menguburkan nilai-nilai Islam sesungguhnya. Budaya-budaya lokal yang diadopsi tanpa landasan filosofis yang kuat bisa menjadi boomerang kemajuan umat Islam.
4.      Permasalahan Strategi Pembelajara
Era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan. Dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru. Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme guru.
5.      Masalah Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sebagimana yang diketahui bahwa dampak positif dari pada kemajuan teknologi sampai kini, adalah bersifat fasilitatif (memudahkan). Teknologi menawarkan berbagai kesantaian dan ketenangan yang semangkin beragam.  Dampak negatif dari teknologi moderen telah mulai menampakan diri di depan mata kita, yang pada prinsipnya melemahkan daya mental-spiritual / jiwa yang sedang tumbuh berkembang dalam berbagai bentuk penampilannya.  Pengaruh negatif dari teknologi elektronik dan informatika dapat melemahkan fungsi-fungsi kejiwaan lainya seperti kecerdasan pikiran, ingatan, kemauan dan perasaan (emosi) diperlemah kemampuan aktualnya dengan alat-alat teknologi-elektronis dan informatika seperti Komputer, foto copy dan sebagainya.
Alat-alat diatas dalam dunia pendidikan memang memiliki dua dampak yaitu dampak positif  dan juga dampak negatif. Misalnya pada pelajaran bahasa asing anak didik tidak lagi harus mencari terjemah kata-kata asing dari kamus, tapi sudah bisa lewat komputer penerjemah atau hanya mengcopy lewat internet. Nah dari sinilah nampak jelas bahwa pengaruh teknologi dan informasi memiliki dampak positif dan negatif.
6.      Adanya Krisis moral
Melalui tayangan acara-acara di media elektronik dan media massa lainnya, yang menyuguhkan pergaulan bebas, sex bebas, konsumsi alkohol dan narkotika, perselingkuhan, pornografi, kekerasan, liar dan lain-lain. Hal ini akan berimbas pada perbuatan negatif generasi muda seperti tawuran, pemerkosaan, hamil di luar nikah, penjambretan, pencopetan, penodongan, pembunuhan oleh pelajar, malas belajar dan tidak punya integritas dan krisis akhlaq lainnya.

7.      Adanya Krisis kepribadian.
Dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di suatu negara yang menyuguhkan kemudahan, kenikmatan dan kemewahan akan menggoda kepribadian seseorang. Nilai kejujuran, kesederhanaan, kesopanan, kepedulian sosial akan terkikis . Untuk ini sangat mutlak diperlukan bekal pendidikan agama, agar kelak dewasa akan tidak menjadi manusia yang berkepribadian rendah, melakuan korupsi, kolusi dan nepotisme, melakukan kejahatan intelektual, merusak alam untuk kepentingan pribadi, menyerang kelompok yang tidak sepaham, percaya perdukunan, menjadi budak setan dan lain-lain. Faktor pendorong adanya tantangan di atas dikarenakan longgarnya pegangan terhadap agama dengan mengedepankan ilmu pengetahuan, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh kepala rumah tangga yaitu dengan keteladanan dan pembiasaan, derasnya arus informasi budaya negatif global diantaranya, hedonisme, sekulerisme, pornografi dan lain-lain, Selain adanya hambatan akibat dampak negatif era global juga terdapat tantangan pendidikan agama Islam untuk membekali generasi muda mempunyai kesiapan dalam persaingan.

C.      Solusi Terhadap Permasalahan
Globalisasi mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia dari berbagai aspek kehidupan, baik aspek social polotik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain termasuk pendidikan, dalam hal ini globalisasi telah merubah kehidupan sehari-hari terutama dirasakan sekali oleh negara berkembang dan pada saat yang sama telah menciptakan system-sistem dan kekuatan-kekuatan trens nasional baru.
Globalisasi telah mempengaruhi generasi muda Islam terutama di negara-negara timur tengah atau negara-negara islam dan negara-negara berkenbang, seperti Indonesia budaya komunisme, hedonism, dan ketergantungan terhadap budaya barat menjadi fenomina baru bagi generasi muda Islam, model dan cara berpakaian yang tidak islami (mempertontonkan  aurat)  jenis makanan dan minuman yang di nikmati sujah jauh dari menu dan ke khasan local pengaruh bebas dan pergaulan muda-mudi yang tidak mengenal tatakrama meraja lela dimana-mana, semakin terkikisnya nilai kekeluargaan dan gotong- royong dan sebagainya adalah merupakan pengaruh negative dari globalisasi. Globalisasi juga sangat berpengaruh terhadap penyelenggarakan pendidikan, baik terhadap tujuan, proses, hubungan guru murid, etika metode ataupun yang lainya.
Dalam hal tujuan dardapat kecendrungan yang mengarah materialisme, sehingga hal pertama yang mungkin dikatakan oleh orang tua siswa atau siswa, adalah lembaga adakah pendidikan tempat ia belajar dapat menjamin kehidupanya? demikiannya dengan kurikulumnya lebih mengarah pada bagaimana hal-hal yang materialistic itu dapat di capai, dalam  hal  ini belajar lenbih terfokus pada aspek penguasaan ilmu (kognitif) belaka ketimbang bagaimana seseorang siswa memiliki sikap yang sesuai dengan nilai-nilai islam.
Dalam pergaulan antara sesama siswa, tidak jarang kita ketahui dari berbagai media massa yang pemperlihatkan kondisi yang memperhatinkan akibat dari penjajagan budaya barat yang  mengumbar pergaulan bebas demikian  halnya dengan  hubungan guru dengan  murid sering kita dapatkan informasi yang membuat bulu kuduk  kita berdiri, yaitu dengan berlangsungnya hubungan bebas guru-murid karena barter nilai dan tidak.
Jarang  pula terdapat hubungan guru murud yang tidak harmunis di sebabkan akhlak siswa terhadap guru yang kurang menempatkan kedudukan guru pada posisi yang tepat di karenakan kesenjangan ekonomi antara guru dan orang tua murid yang bagaikan langit dengan bumi. Proses globalisasi yang sedemikian berpengaruh bagi kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai agama tentu saja tidak dapat di biarkan begitu saja, kalangan agamawan, pemikir, pendidik, bahkan penguasa harus merespon secara kontruktif terhadap berbagai persoalan yang di timbulkan sebagai akibat dari pengaruh globalisasi ini.
Namun bila dielajari lebih jauh, globalisasi membawa pengaruh terhadap Negara-negara berkembang yang baru terlepas dari belenggu penjajahan, baik positif maupun negative. Pengaruh positif dari globalisasi yaitu membantu/ mendorong negara-negara baru berkembang untuk maju secara teknis,serta menjadi lebih sejahtera secara material.
Dengan demikian tidak bisa dipungkiri,  juga bahwa globalisasi juga memiliki mamfaat  (Pengaruh Yang Positif)  bagi  kehidupan umat manusia kita ketahuai bahwa globalisasi juga erat kaitanya dengan era informasi dan tehnolog canggih. Era global/ informasi menjadikan semua transparan, apa yang terjadi di belahan dunia yang satu, di belahan dunia yang lain dapat juga dengan cepat di ketahui hubungan seseorang dengan yang lainya, teknologi komunikasi menjadi sedemikian dekat gampang dan mudah, informasi pengetahuan dan lain-lainya  dengan mudah kita daptkan dari berbagai media, seperti radio, televisi, internet, Koran, majalah dan lain sebagainya dengan demikian banyak hal yang dapat mendorong pendidikan untuk meningkatkan kwalitas dirinya baik dalam hal kelembagaan , tujuan, kurikulum, metode, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu globalisasi yang berkembang saat ini tidak mungkin untuk ditolak eksistensinya, sebab globalisasi merupakan keniscayaan yang harus dihadapi oleh semua pihak termasuk pendidikan Islam. Melihat realitas seperti yang tertulis di atas, maka dibutuhkan solusi yang konstruktif dalam rangka menata kembali seluruh komponen pendidikan Islam. Penataan kembali sistem pendidikan Islam bukan sekedar  modifikasi atau tambal sulam, tapi memerlukan rekonstruksi, rekonseptualisasi dan reorientasi, sehingga pendidikan Islam dapat memberikan  sumbangan besar bagi pencapaian tahap tinggal landas.
Dalam menyikapi isu globalisasi umat islam terbagi kedalam tiga kelompok, yaitu yang menerima secara mutlak menolak sama sekali, dan pertengahan yakni menyikapinya secara proposional.
Kelompok pertama, yakni orang yang menerima secara mutlak adalah orang yang di sebutkan oleh rosulullah dalam hadistnya bahwa mereka adalah mengikuti cara-cara dan ajaran-ajaran umat lain sejengkal demi sejengkal, sehingga jika umat lain itu masuk ke lubang biawak mereka akan mengikutinya inilah sikap para penyeru westnerisasi yang berlebihan didunia arab da islam.
Kelompok kedua, orang ynag menolak sama sekalai adalah yang menjahuai hal-hal yang baru tidak peduli dengan dunia pemikiran, ekonomi, politik dan sebagainya,mereka beruzlah dan menyiongkir, selain kelompok ini terdapat kelompok lain yang sering di sebut dengan kelompk fudemintas,  bedanya mereka tidak mengasingkan diri, tetapi malah mengambil posisi berhadap-hadapan dengan yang mereka tentang atau tolak. Mereka menganggap bahwa globalisasi akan merusak sendi-sendi budaya islam yang telah mereka jaga selama-bertahun-tahun, ke khawatiran mereka terletak pada “westernisasi ”dan pembaratan pada budaya setempat melalui arus globalisasi.
Kelompok ketiga, adalaah kelompok pertengahan yakni yang menyikapinya secara proposianal, menurut yusuf qordawi  inilah sikap yang baik sebagai cermin sebagai manhaj Islam pertengahan. Inilah sikap orang beriman yang mempunyai wawasan luas dan terbuka yang bangga dengan identitasnya, faham tentanng risalahnya, dan memegang teguh orisinalitasnyaia tidak menghindar dari hala-hal yang baru dan tidak menerima secara berlebihan.di antara sikap yang tepat menghadapi globalisasi sebagaimana tersebut di atas adalah sikap proporsional  yakni tidak berlebihan dalm menolak dan menerimanya, kita tentu dapat memilah milih dana memilih-milih mana yang di anggap baik dan sesuai dengan ajaran islam dan mana yang tidak sesuai dengan ajaran islam. Terhadap pengaruh yang baik, tentu dengan senang hati dapatkah kita terima dan bahkan jika memungkinkan mengembangkanyauntuk mendapat mamfaat yang lebih baik.
Ketika berhadapan dengan ide-ide informasi dan polarisasi ideology dunia terutama di dorong oleh kemajuan iptek modern, pendidikan islam tidak terlepas dari berbagai tantangan. Dalam menghadapi berbagai tantangan dan dampak tersebut pendidikan islam harus memiliki berbagi strategi sebab agama harus menjawab tantangan yang relative dekat di hadapan  kita dalam hal ini urusan dunia, selain berhubungan dengan urusan perakhiratan jadi harus di jawab sejauhmana agama kini bisa menjawabtanyangan kemajuan itu, IPTEK harus di kuasai, tetapi kini tidak boleh ditinggalkan sehingga bisa membentuk sumberdaya manusia yang handal menurut BPPN bahwa cara terbaik mengatasi kemungkinan dampak negatif adalah melalui peningkatan mutu pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama serta pendidikan moral pada khususnya pada dasranya PPKn atau pendidikan kewarga negaraan, dan  agama sangat relefan untuk penanggulangan dampak negative dari tekhnologi dan informasi, hanya saja untuk kondisi dalam era reformasi sekarang ini di perlukan pengkajian ulang terhadap metode pengembangan dan pengajaranya sehingga penanaman sikap maupun penghayatan nilai-nilai  relegius akan semakin menghasilkan prilaku yang lebih baik.  
Sedangkan lembaga yang sangat berperan dalam tantangan itu adalah pesantren madrasah menempati peran strategis bagi pendidikan generasi muda ummat Islam karena di sanalah tempat kebanyakan anak para santri mempersiapkan diri untuk menjalankan peran penting mereka bagi masyarakat di kemudian hari.
Dibandingkan dengan  pendidikan di sekolah  umum, madrasah mempunyai misi yang mulia.  Ia bukan saja memberikan pendidikan umum (seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan pendidikan agama, sehingga kalau pendidikan ini berhasil, para lulusannya akan dapat hidup bahagia di dunia dan hidup bahagia di akhirat nanti (karena ketaatannya pada ajaran agama)  Madrasah yang hanya menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum  mungkin hanya akan mampu memberikan potensi untuk bahagia di akhirat saja. Dalam kaitannya dengan era globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini, madrasah harus juga menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka masuki.  Ini dimaksudkan agar lulusan madrasah tidak akan terpinggirkan oleh lulusan sekolah umum dalam memperebutkan tempat dan peran dalam gerakan pembangunan bangsa.