Rabu, 06 Juni 2012

PERMASALAHAN DALAM PENATAAN PENDIDIKAN ISLAM MENUJU PENDIDIKAN YANG BERMUTU




A.      Pendahuluan
Mutu pendidikan merupakan hal yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk dicapai, sebab pendidikan akan menjadi sia-sia bila mutu proses dan lulusannya rendah. Lebih parah dan menyedihkan lagi jika out put pendidikannya menambah beban masyarakat, keluarga, dan negaranya. Masyarakat dan berbagai lembaga pendidikan Islam berkeinginan untuk menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pendidikan alternatif. Pemikiran semacam ini memerlukan paradigma baru untuk meningkatkan kualitan pendidikannya, diperlukan penataan program pendidikan Islam mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum dan materi pembelajaran, strategi dan metode, manajemen dan kepemimpinan yang berkualitas, dana, dan dukungan pemerintah dan penerimaan masyarakat terhadap prodak pendidikan Islam.
Reformasi di Indonesia seakan menjadi cahaya impian yang akan memberikan banyak perubahan kehidupan bagi bangsa ini, khusunya pada sektor pendidikan. Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian, justru pendidikan di bumi Indonesia semakin menjadi problem baru, yakni lahirnya ambiguisitas dalam wilyah pendidikan yang terus berjalan di Indonesia. Kondisi ironis pendidikan tersebut adalah mengenai goal setting yang ingin dicapai sistem pendidikan. Gambaran riil adalah lahirnya tipe mechanic student di mana setiap peserta didik sudah diposisikan pada orientasi pasar sehingga pendidikan bukan lagi berbasis keilmuan dan kebutuhan bakat peserta didik.
Selain itu, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Artinya, anak bangsa dihadapkan pada ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, penyuguhan uang “persembahan”, pemakaian seragam baru, pembelian “ramuan-ramuan” buku-buku paket baru, dan segudang ritual lain. Muncul, ambiguisitas kebijakan pemerintah yang sebenarnya sebagai pengelola potensi anak bangsa, namun pemerintah justru menjadi penjaga mitos pendidikan. Pemerintah dengan sangat percaya diri memilih posisi lebih berpihak pada kelangan elite, maka muncul adigium lelang pendidikan  Permasalahan pendidikan di Indonesia secara umum adalah kualitas, relevansi, elitisme, dan manajemen. Berbagai indikator kuantitatif dikemukakan berkenaan dengan keempat masalah di atas, antara lain analisis komparatif yang membandingkan situasi pendidikan antara negara di kawasan Asia. Keempat masalah tersebut merupakan masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung pangkal pemecahannya.
Permasalahan ini terjadi pada pendidikan secara umum di Indonesia, termasuk pendidikan Islam yang dinilai justru lebih besar problematikanya. Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.
 Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Dalam Undang-Undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-sistem pendidikan nasional. Jadi sistem pendidikan itu satu yaitu memanusiakan manusia, tetapi pendidikan memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang (pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program diploma, sekolah tinggi, institusi, universitas) dan hakekat pendidikan adalah mengembangkan harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar mampu menjadi khalifah. Pendidikan Islam menjadi satu dalam sistem pendidikan nasional, tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobatkan” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin, memproduk orang yang eksklusif, fanatik, dan bahkan pada tingkah yang sangat menyedihkan yaitu “terorisme-pun” dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena pada kenyataannya beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat berasalnya kelompok tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak, sebab tidak ada lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk memproduk atau mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu.
 Tetapi realitas di masyakarat banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem, proses, dan orientasi pendidikan Islam. Hal ini, merupakan suatu kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Olah karena itu, muncul tuntutan masyarakat sebagai pengguna pendidikan Islam agar ada upaya penataan dan modernisasi sistem dan proses pendidikan Islam aga menjadi pendidikan yang bermutu, relevan, dan mampu menjawab perubahan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dengan demikian, penataan model, sistem dan proses pendidikan Islam di Indonesia merupakan suatu yang tidak terelakkan, untuk menjawab permintaan dari arus globalisasi yang tidak dapat dibendung lagi dan menjawab predikat keterbelakangan dan kemunduran yang selalu melekat pada pendidikan Islam. Hemat penulis, strategi pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih dari kegiatan pendidikan yang paling mendesak, berposisi senteral yang akan menjadi modal dasar untuk usaha penataan dan pengembangan selanjutnya. Katakan saja, perubahan paradigama, visi, misi, tujuan, dana, dan sampai pada program-program pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan dalam negeri ini, seperti: perubahan kurikulum pendidikan secara terarah dan kontinu agar dapat mengikuti perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi.

B.       Permasalahan
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan salah satu variasi dari pendidikan Islam tidak memiliki kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Terasa janggal dan lucu, dalam komunitas masyarakat muslim terbesar, pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Selain itu, paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional, sebab pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Maka, perhatian pemerintah yang dicurahkan pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran masyarakat yang sosialistis religius. Dari sinilah timbul pertanyaan, bagaimanakah kemampuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menata, mengatasi, dan menyelesaikan problem-problem yang dihadapi menuju pendidikan bermutu dan unggul.
Langkah awal yang diperhatikan untuk melakukan penataan pendidikan Islam, harus menganalisis dari aspek kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman. Pertama, pendidikan Islam (pesantren, madrasah, sekolah yang bercirikan Islam, dan perguruan tinggi) lebih besar > 80 % dikelola oleh swasta. Dalam pengelolaannya lebih percaya dan hormat pada ulama, percaya bahwa guru mengajarkan sesuatu yang benar, panggilan agama, ibadah, ikhlas, murah, merakyat. Hal ini merupakan kekuatan (strengt) dalam pengelolaan pendidikan Islam. Kedua, kelemahan (weakness), bahwa pendidikan Islam posisinya lemah, tidak profesional hampir disemua sektor dan komponennya, stress, terombang-ambing antara jati dirinya, apakah ikut model sekolah umum atau antara ikut Kemendiknas dan Kemenag. Belum ada sistem yang mantap dalam pengembangan model pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Ketiga, kesempatan (opportunities), bahwa dalam UU No.20 Th. 2003 memberi kesempatan atau momentum pengembangan pendidikan agama dan keagamaan. Pendidikan Islam diakui sama dengan pendidikan yang lain. Keempat, ancaman (treat), bahwa banyak lembaga pendidikan lain yang lebih tangguh dan berkualitas, Ilmu dan teknologi yang berkembang sangat pesat berlum terkejar oleh pendidikan Islam, pendidikan Islam kehilangan jati dirinya, pendidikan Islam selalu menjadi warga kelas dua, tercabut dari akar budaya komunitas muslimnya.
Dalam perspektif pendidikan, mungkin akan bertanya mampukah kita menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan Islam yang menghasilkan lulusan-lusan yang ”mampu memilih” tanpa kehilangan peluang dan jati dirinya. Memang samapi sekarang, perlakuan pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan Islam masih tetap sama, diskriminatif. Sikap inilah yang menyebabkan pendidikan Islam sampai detik ini terpinggirkan.
Terpinggirnya pendidikan Islam dari persaingan sesungguhnya dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal, pertama,meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan kemendiknas yang umumnya dikelola secara modern. Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar,umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar.
Hal ini terjadi karena sistem pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru. Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan. Kepala madrasah seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis dari pada pendekatan kolegial profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like and dislike, dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
Faktor eksternal yang dihadapi pendidikan Islam adalah pertama, adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Pemerintah selama ini cenderung menganggap dan memperlakukan pendidikan Islam sebagai anak tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja, alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan kemendiknas. Maka, terlepas itu semua, apakah itu urusan kemenag atau kemendiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, karena pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum. Faktor kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah kemendiknas.
Beberapa indikator yang menunjukkan kesenjangan ini yaitu mulai dari tingkat ketersediaan tenaga guru, status guru, kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan (unit cost) siswa, hingga tidak adanya standardisasi mutu pendidikan Islam, karena urusan pendidikan Islam tidak berada di bawah kemendiknas, dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam. Faktor ketiga, adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan Islam. Secara jujur harus diakui, bahwa masyarakat selama ini cenderung acuh terhadap proses pendidikan di madrasah atau sekolah-sekolah Islam. Rata-rata memandang pendidikan Islam adalah pendidikan nomor dua dan biasanya bila menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan kemendiknas.
Diakui bahwa perkembangan pendidikan Islam pada akhir-akhir ini secara berangsur-angsur mulai terasa kemajuannya, hal ini terbukti dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan beberapa model pendidikan yang ditawarkan, yang menunjukan harapan untuk mampu bersaing. Tetapi masih banyak yang memerlukan penataan.
Maka untuk menuju pendidikan yang bermutu dan unggul, pendidikan Islam hendaknya berupaya maksimal untuk membenahi dan melakukan penataan kembali terhadap masalah internalnya, seperti persoalan manajemen, kemampuan kepemimpinan, kompetensi dan profesional guru. Manajemen pendidikan yang bersifat klasik harus ditinggalkan dan berfokus kemanajemen berbasis mutu. Manajemen memiliki visi, missi, goals dan strategi yang akan diterapkan dalam mencapai tujuan. Namun visi, missi dan goals pun jangan hanya akan menjadi tumpukan berkas perencanaan yang tidak dapat diwujudkan secara nyata apabila kita tidak memiliki rencana strategi yang baik dan tepat.

C.      Solusi dari Permasalahan
Dari paparan di atas, menurut hemat penulis bahwa inovasi atau penataan fungsi pendidikan Islam harus dilakukan, terutama pada sistem pendidikan persekolahan harus diupayakan secara terus menerus, berkesinambungan, berkelanjutan, sehingga usahanya dapat menjangkau pada perluasan dan pengembangan sistem pendidikan Islam luar sekolah. Harus dilakukan inovasi kelembagaan dan tenaga kependidikan. Tenaga kependidikan harus ditingkatkan etos kerja dan profesionalismenya. Perbaikan pada aspek materi [kurikulum], pendekatan, dan metodologi yang masih berorientasi pada sistem tradisional, perbaikan pada aspek manajemen pendidikan itu sendiri. Tetapi usaha melakukan inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi harus secara mendasar dan menyeluruh, mulai dari fungsi, tujuan, metode, strategi, materi (kurikulum), lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Dengan kata lain, penataan pendidikan Islam haruslah bersifat komprehensif dan menyeluruh, baik pada tingkat konsep maupun penyelenggaraan; tidak lagi adhoc dan incremental seperti sering terjadi di masa silam.
Penataan fungsi pendidikan Islam, tentu dengan memperhatikan dunia kerja, sebab dunia kerja mempunyai andil dan rentang waktu yang cukup besar dalam jangka kehidupan pribadi dan kolektif. Dari gambaran tersebut di atas, tanpaknya  perlu menyusun langkah-langkah strategi sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan pendidikan Islam pada peran yang semestinya dengan berusaha menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga pendidikan Islam kembali bersifat aktif progresif. Langkah-langkah strategi tersebut diantaranya, yaitu: Pertama, dikembangkan dan dijabarkan atas konsep dasar kebutuhanan manusia. Perlu menempatkan kembali seluruh aktivitas pendidikan di bawah “kerangka dasar kerja spritual”. Seluruh aktivitas intelektual dan proses pendidikan senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktivitas pendidikan sebagai upaya menegakkan ajaran agama dengan memanusiakan manusia dalam konteks kehidupannya. Kedua, perlu ada perimbangan (balancing) antara disiplin atau kajian-kajian agama dengan pengembangan intelektualitas dalam program kurikulum pendidikan. Sistem pendidikan Islam harus menganut integrated curriculum, artinya perpaduan, koordinasi, harmonis, dan kebulatan materi-materi pendidikan dengan ajaran Islam, dan bukan separated subject curriculum maunpun correlated curriculum.
Maka dengan konsep integrated curriculum, proses pendidikan akan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama dengan kajian lain (non-agama) dalam pendidikan Islam yang merupakan suatu keharusan, apabila menginginkan pendidikan Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat. Ketiga, perlu dikembangkan pendidikan yang berwawasan kebebasan, sehingga insan akademik dapat melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal. Kenapa demikian, karena selama masa kemunduran Islam, telah tercipta stigma dengan dikondisikan banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan, perbedaan pandapat dan pandangan yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual rasional. Kesempatan berijtihad yang selama ini di anggap tertutup juga menjadi malapetaka bagi perkembangan pemikiran “rasional intelektual” dan ikut terkubur. Kita tidak mempunyai ruang bebas untuk mengekspresikan pemikiran, pandangan, dan gagasan. Apabila muncul pemikiran baru yang berbeda dengan mainstream, seringkali dianggap sebagai pengkaburan, penyesetan dan penyimpangan dari agama dan kadang kala, kritik terhadapan pandangan dan pemikiran keagamaanpun dianggap sebagai kritik terhadap otoritas Tuhan, nabi dan lain-lain. Agama kemudian dijadikan sebagai otoritas baru untuk memasung dan mengkerdilkan (membonsai) pemikiran-pemikiran inovatif yang muncul.
Maka, dengan upaya menghilkangkan atau minimal membuka kembali sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan dan kajian, akan menjadikan wilayah pengembangan intelektual semakin luas yang tentu membuka peluang lebar bagi pengembangan keilmuan didunia pendidikan Islam pada khususnya dan Islam pada umumnya. Keempat, mulai melakukan strategi pendidikan yang membumi pada kebutuhan nyata masyarakat yang akan menghartar peserta didik pada kebutuhan akhirat. Mengembangkan pendidikan Islam berwawasan kebudya dan masyarakat, pendidikan yang berwawasan kebebasan dan demokrasi, pendidikan yang menyenangkan dan mencerdaskan. Diperlukan pendidikan yang menghidupkan kembali tradisi intelektual yang bebas, dialogis, inovatif, dan kreatif. adalah sahabat agama (syariah), dan saudara sesunya. Agama dan kebebasan berpikir merupakan dua mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan.
Dari pandangan ini kebebasan berpikir mutlak diperlukan untuk melahirkan intelektualintelektual yang memiliki pandangan keagamaan yang baru, segar, dan jernih. Kita berharap disain pendidikan Islam pada era informasi, era globalisasi, menjadi era berhembusnya kebebasan berpikir, sehingga mendorong lahirnya pemikir-pemikir keagamaan yang memiliki kemampuan bersaing, kritis, transformatif, inovatif, dan konstruktif dalam menghadapi tantang perubahan.
Dengan demikian mutu pendidikan merupakan hal yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk dicapai. Sebab pendidikan akan menjadi sia-sia bila mutu proses dan lulusannya rendah, tidak terbangun jiwa jika out put pendidikannya menambah beban masyarakat, keluarga, dan negaranya. Saat sekarang ini, ada keinginan dari masyarakat dan berbagai lembaga pendidikan Islam untuk menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pendidikan alternatif. Tetapi pemikiran ini memerlukan paradigma baru untuk meningkatkan kualitan pendidikannya.
Kelemahan pendidikan Islam dewasa ini, disebabkan oleh faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman interpretasi (insight), kelemahan kelembagaan [organisasi], kelemahan ilmu dan teknologi. Apabila hal ini menjadi fokus, maka pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi, tidak hanya terkait dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga strategi dan taktik operasional dan metodologinya. Strategi dan taktik itu, bahkan sampai menuntut perombakan model-model sampai dengan institusi-institusinya dan cultural dalam menunjukkan perannya untuk mewujudkan pendidikan Islam yang bermutu dan unggul.
Berbicara tentang pendidikan yang mutu dan unggul, tentu saja harus didasarkan pada suatu standar dan ukuran kemajuan (benchmark) tertentu yang terbuka (accountable), sehingga publik dengan mudah mengikuti dan menilai kemajuan pendidikan yang ada. Apakah pendidikan yang bermutu dan unggul dapat dilihat dari lulusan dengan nilai tinggi atau dilihat dari lulusannya dapat diserap pasar dengan cepat, ataukah dinilai oleh Badang Akreditasi Nasional [BAN] dengan predikat terakreditasi dengan nilai A, B, dan C atau tidak terakreditasi memiliki kompetensi untuk mengajar.  
Realitas menunjukkan banyak siswa lulus SLTA memiliki nilai tinggi, tapi tidak dapat meneruskan ke perguruan tinggi, karena disebabkan oleh biaya, orang tua tidak mampu. Sarjana lulus dengan nilai tinggi, ujung-ujungnya menjadi buruh/ pedagang, pengangguran, lantaran tidak memiliki koneksi, walaupun hal yang ditekuni dan dikerjakan memang tidak salah, tetapi tidak macht atau mismacht dengan pendidikan yang ditekuni. Inilah kondisi yang dihadapi pendidikan di negeri ini. Selain itu, manusia unggul seperti apa yang dikehendari dari produk pendidikan, karena bukan sekedar pendidikan yang unggulan.
Dalam konteks historis, manusia yang dapat dijadikanteladan adalah menusia yang dikategori unggulan bukanlah semata-mata ditentukan lembaga pendidikan yang membesarkannya, malahan lebih banyak dihasilkan oleh keluarga atau masyarakat yang mengelilinginya. Lembaga pendidikan pesantren, biayanya murah, santri banyak yang gratis, dianggap tradisonal, tetapi banyak melaihrkan para pahlawan, para tokoh pemikir bangsa. Maka dalam konteks ini, proses pendidikan di pesantren lebih berlaku dan faktor utamanya adalah keteladanan, kesungguhan, kerendahan hati, kesederhanaan, keikhlasan, yang dibangun oleh kiai dan para gurunya dalam proses, tetapi nilai-nilai ini pada zaman sekarang lebih mendapatkan respons yang kurang baik.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan yang bermutu dan unggul adalah memiliki visi, misi, dan tujuan yang jelas, memiliki program pendidikan dan pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat, inovatif dan pengembangan ilmu dan teknologi, memiliki sumberdaya yang profesional, memiliki manajemen yang profesional dan bertanggungjawab. Lulusannya memiliki standar kompetensi pengetahuan (knowledge) kognitif yang memadai, memiliki kemampuani afektif yang anggun, yaitu memiliki kepribadian dan moral yang tinggi, jujur, bertanggungjawan, dan bersamangat untuk melakukan inovasi, memiliki kemampuan psikomotorik yang tinggi, memiliki skill untuk menjawab kabutuhan masyarakat, melakukan kegiatan secara terampil, dan memiliki kemampuan bertindak yaitu menghasilkan sesuatu yang konkrit dan menghasilkan jasa, serta dapat diserap pasar atau pengguna pendidikan.
Dengan dasar ini, maka pendidikan Islam perlu membangun sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas, dilandasai dengan nilai-nilai ilahiyah, kemanusian (insaniyah), lingkungan dan berbudaya, manajemen pendidikan dengan berorientasi pada profesionalisme dan mutu, menyerap aspirasi dan mendayagunakan potensi masyarakat, berorientasi pada otonomi, meningkatkan demokratisasi penyenggaraan pendidikan, serta memenuhi permintaan perubahan arus globalisasi. Katakan saja, konsep hasil belajar yang lebih baik tentu saja berorientasi pada kemampuan kognitif, psikomotorik, afektik, dan tindakan. Kemampuan bertindak terkait erat dengan pendidikan life skills, artinya ketika lulusan dari satuan pendidikan Islam, sudah memiliki pengalaman yang cukup memadai dari kehidupan pendidikannya untuk melakukan sesuatu di masyarakat, yaitu berkewajiban mencari, menemukan dan memanfaatkan ilmu bagi keperluan kehidupan umat manusia, sekaligus juga harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi selanjutnya jika dengan ilmu itu menimbulkan kerusakan lingkngan.
Dalam kerangka ini, menurut penulis pendidikan Islam harus berupaya untuk: Pertama, mengembangkan konsep pendidikan integralistik, yaitu pendidikan secara utuh yang berorientasi pada Ketuhanan, kemanusiaan dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang rahmatan lil’alamin . Kedua, mengembangkan konsep pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang berorieintasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi) dengan menghargai hah-hak asasi manusia, hak untuk menyuarakan pendapat walaupun berbeda, mengembangkan potensi berpikir, berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Ketiga, mengembangkan konsep pendidikan pragmatis, yaitu memandang manusia sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik jasmani maupun rohani dan mewujudkan manusia yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, mengembangkan konsep pendidikan yang berakar pada budaya yang akan dapat mewujudkan manusia yang mempunyai kepribadiaan, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri, membangun budaya berdasarkan budaya sendiri dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Secara umum, konsep pendidikan Islam yang ditawarkan adalah pendidikan yang berorientasi pada kompetensi nilai-nilai ilahiyah, knowledge, skill, ability, social-kultural dan harus berfungsi untuk memberikan kaitan secara operasional antara peserta didik dengan masyarakatnya, lingkungan sosial-kulturalnya, dan selalu menerima dan ikut serta melakukan perubahan.

0 komentar:

Posting Komentar