A.
Pendahuluan
Mutu pendidikan merupakan hal yang harus
diperhatikan dan diupayakan untuk dicapai, sebab pendidikan akan menjadi
sia-sia bila mutu proses dan lulusannya rendah. Lebih parah dan menyedihkan
lagi jika out put pendidikannya menambah beban masyarakat, keluarga, dan
negaranya. Masyarakat dan berbagai lembaga pendidikan Islam berkeinginan untuk
menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pendidikan alternatif. Pemikiran
semacam ini memerlukan paradigma baru untuk meningkatkan kualitan
pendidikannya, diperlukan penataan program pendidikan Islam mulai dari visi,
misi, tujuan, kurikulum dan materi pembelajaran, strategi dan metode, manajemen
dan kepemimpinan yang berkualitas, dana, dan dukungan pemerintah dan penerimaan
masyarakat terhadap prodak pendidikan Islam.
Reformasi di Indonesia seakan menjadi cahaya
impian yang akan memberikan banyak perubahan kehidupan bagi bangsa ini,
khusunya pada sektor pendidikan. Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian, justru
pendidikan di bumi Indonesia semakin menjadi problem baru, yakni lahirnya ambiguisitas
dalam wilyah pendidikan yang terus berjalan di Indonesia. Kondisi ironis
pendidikan tersebut adalah mengenai goal setting yang ingin dicapai
sistem pendidikan. Gambaran riil adalah lahirnya tipe mechanic student di
mana setiap peserta didik sudah diposisikan pada orientasi pasar sehingga
pendidikan bukan lagi berbasis keilmuan dan kebutuhan bakat peserta didik.
Selain itu, munculnya mitologi ruang
pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Artinya, anak bangsa
dihadapkan pada ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, penyuguhan uang
“persembahan”, pemakaian seragam baru, pembelian “ramuan-ramuan” buku-buku
paket baru, dan segudang ritual lain. Muncul, ambiguisitas kebijakan
pemerintah yang sebenarnya sebagai pengelola potensi anak bangsa, namun
pemerintah justru menjadi penjaga mitos pendidikan. Pemerintah dengan sangat
percaya diri memilih posisi lebih berpihak pada kelangan elite, maka muncul adigium
lelang pendidikan Permasalahan
pendidikan di Indonesia secara umum adalah kualitas, relevansi, elitisme, dan
manajemen. Berbagai indikator kuantitatif dikemukakan berkenaan dengan keempat
masalah di atas, antara lain analisis komparatif yang membandingkan situasi
pendidikan antara negara di kawasan Asia. Keempat masalah tersebut merupakan
masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung
pangkal pemecahannya.
Permasalahan ini terjadi pada pendidikan
secara umum di Indonesia, termasuk pendidikan Islam yang dinilai justru lebih
besar problematikanya. Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada
persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan
Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan
kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan
masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja,
pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu
persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan
bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi
kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur
banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.
Tetapi
pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi
marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Dalam Undang-Undang
sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-sistem
pendidikan nasional. Jadi sistem pendidikan itu satu yaitu memanusiakan
manusia, tetapi pendidikan memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang (pendidikan
keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program diploma,
sekolah tinggi, institusi, universitas) dan hakekat pendidikan adalah
mengembangkan harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar
benar-benar mampu menjadi khalifah. Pendidikan Islam menjadi satu dalam sistem
pendidikan nasional, tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat
padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobatkan” hanya untuk kepentingan
orang-orang yang tidak mampu atau miskin, memproduk orang yang eksklusif,
fanatik, dan bahkan pada tingkah yang sangat menyedihkan yaitu “terorisme-pun”
dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena pada kenyataannya beberapa
lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat berasalnya kelompok
tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak, sebab tidak ada
lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk memproduk atau
mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu.
Tetapi
realitas di masyakarat banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam.
Apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem, proses, dan orientasi pendidikan Islam.
Hal ini, merupakan suatu kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga
pendidikan Islam di Indonesia. Olah karena itu, muncul tuntutan masyarakat
sebagai pengguna pendidikan Islam agar ada upaya penataan dan modernisasi
sistem dan proses pendidikan Islam aga menjadi pendidikan yang bermutu,
relevan, dan mampu menjawab perubahan untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia. Dengan demikian, penataan model, sistem dan proses pendidikan Islam
di Indonesia merupakan suatu yang tidak terelakkan, untuk menjawab permintaan
dari arus globalisasi yang tidak dapat dibendung lagi dan menjawab predikat
keterbelakangan dan kemunduran yang selalu melekat pada pendidikan Islam. Hemat
penulis, strategi pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih dari kegiatan
pendidikan yang paling mendesak, berposisi senteral yang akan menjadi modal
dasar untuk usaha penataan dan pengembangan selanjutnya. Katakan saja,
perubahan paradigama, visi, misi, tujuan, dana, dan sampai pada program-program
pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan dalam negeri ini,
seperti: perubahan kurikulum pendidikan secara terarah dan kontinu agar dapat
mengikuti perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi.
B. Permasalahan
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan salah
satu variasi dari pendidikan Islam tidak memiliki kesempatan yang luas untuk bersaing
dalam membangun umat yang besar ini. Terasa janggal dan lucu, dalam komunitas
masyarakat muslim terbesar, pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang
luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Selain itu, paradigma
birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi pendekatan sektoral
dan bukan pendekatan fungsional, sebab pendidikan Islam tidak dianggap bagian
dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Maka,
perhatian pemerintah yang dicurahkan pada pendidikan Islam sangatlah kecil
porsinya, padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan agar tetap berada
dalam lingkaran masyarakat yang sosialistis religius. Dari sinilah
timbul pertanyaan, bagaimanakah kemampuan pendidikan Islam di Indonesia untuk
menata, mengatasi, dan menyelesaikan problem-problem yang dihadapi menuju
pendidikan bermutu dan unggul.
Langkah awal yang diperhatikan untuk
melakukan penataan pendidikan Islam, harus menganalisis dari aspek kekuatan, kelemahan,
kesempatan, dan ancaman. Pertama, pendidikan Islam (pesantren, madrasah,
sekolah yang bercirikan Islam, dan perguruan tinggi) lebih besar > 80 %
dikelola oleh swasta. Dalam pengelolaannya lebih percaya dan hormat pada ulama,
percaya bahwa guru mengajarkan sesuatu yang benar, panggilan agama, ibadah,
ikhlas, murah, merakyat. Hal ini merupakan kekuatan (strengt) dalam
pengelolaan pendidikan Islam. Kedua, kelemahan (weakness), bahwa
pendidikan Islam posisinya lemah, tidak profesional hampir disemua sektor dan
komponennya, stress, terombang-ambing antara jati dirinya, apakah ikut model
sekolah umum atau antara ikut Kemendiknas dan Kemenag. Belum ada sistem yang
mantap dalam pengembangan model pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Ketiga,
kesempatan (opportunities), bahwa dalam UU No.20 Th. 2003 memberi
kesempatan atau momentum pengembangan pendidikan agama dan keagamaan.
Pendidikan Islam diakui sama dengan pendidikan yang lain. Keempat, ancaman
(treat), bahwa banyak lembaga pendidikan lain yang lebih tangguh dan
berkualitas, Ilmu dan teknologi yang berkembang sangat pesat berlum terkejar
oleh pendidikan Islam, pendidikan Islam kehilangan jati dirinya, pendidikan
Islam selalu menjadi warga kelas dua, tercabut dari akar budaya komunitas
muslimnya.
Dalam perspektif pendidikan, mungkin akan
bertanya mampukah kita menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan Islam
yang menghasilkan lulusan-lusan yang ”mampu memilih” tanpa kehilangan peluang
dan jati dirinya. Memang samapi sekarang, perlakuan pemerintah dan masyarakat
terhadap pendidikan Islam masih tetap sama, diskriminatif. Sikap inilah yang
menyebabkan pendidikan Islam sampai detik ini terpinggirkan.
Terpinggirnya pendidikan Islam dari
persaingan sesungguhnya dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor internal, pertama,meliputi manajemen pendidikan Islam
yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan
pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari kalah bersaing
dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan kemendiknas yang umumnya
dikelola secara modern. Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang
masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan
belajar mengajar,umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama
menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan
motivasi mengajar.
Hal ini terjadi karena sistem pendidikan
Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru. Ketiga,
adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah
yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan
dikembangkan. Kepala madrasah seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan,
moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal,
ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pendidikan
Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal
dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat,
orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan
yang berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
birokratis dari pada pendekatan kolegial profesional. Mengelola pendidikan
bukan berdasar pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like and dislike,
dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
Faktor eksternal yang dihadapi pendidikan
Islam adalah pertama, adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan
Islam. Pemerintah selama ini cenderung menganggap dan memperlakukan pendidikan
Islam sebagai anak tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja,
alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan
pendidikan yang berada di lingkungan kemendiknas. Maka, terlepas itu semua,
apakah itu urusan kemenag atau kemendiknas, mestinya alokasi anggaran negara
pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, karena pendidikan Islam juga
bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan
umum. Faktor kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang
pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan
pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor
pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah kemendiknas.
Beberapa indikator yang menunjukkan
kesenjangan ini yaitu mulai dari tingkat ketersediaan tenaga guru, status guru,
kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan (unit cost) siswa, hingga tidak
adanya standardisasi mutu pendidikan Islam, karena urusan pendidikan Islam
tidak berada di bawah kemendiknas, dan lebih tragis lagi adalah sikap
diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam. Faktor ketiga,
adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan Islam. Secara jujur
harus diakui, bahwa masyarakat selama ini cenderung acuh terhadap proses
pendidikan di madrasah atau sekolah-sekolah Islam. Rata-rata memandang
pendidikan Islam adalah pendidikan nomor dua dan biasanya bila menyekolahkan anaknya
di lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat
diterima di lembaga pendidikan di lingkungan kemendiknas.
Diakui bahwa perkembangan pendidikan Islam
pada akhir-akhir ini secara berangsur-angsur mulai terasa kemajuannya, hal ini
terbukti dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan beberapa model
pendidikan yang ditawarkan, yang menunjukan harapan untuk mampu bersaing.
Tetapi masih banyak yang memerlukan penataan.
Maka untuk menuju pendidikan yang bermutu dan
unggul, pendidikan Islam hendaknya berupaya maksimal untuk membenahi dan
melakukan penataan kembali terhadap masalah internalnya, seperti persoalan
manajemen, kemampuan kepemimpinan, kompetensi dan profesional guru. Manajemen pendidikan
yang bersifat klasik harus ditinggalkan dan berfokus kemanajemen berbasis mutu.
Manajemen memiliki visi, missi, goals dan strategi yang akan diterapkan
dalam mencapai tujuan. Namun visi, missi dan goals pun jangan hanya akan
menjadi tumpukan berkas perencanaan yang tidak dapat diwujudkan secara nyata apabila
kita tidak memiliki rencana strategi yang baik dan tepat.
C. Solusi
dari Permasalahan
Dari paparan di atas, menurut hemat penulis
bahwa inovasi atau penataan fungsi pendidikan Islam harus dilakukan, terutama pada
sistem pendidikan persekolahan harus diupayakan secara terus menerus,
berkesinambungan, berkelanjutan, sehingga usahanya dapat menjangkau pada
perluasan dan pengembangan sistem pendidikan Islam luar sekolah. Harus
dilakukan inovasi kelembagaan dan tenaga kependidikan. Tenaga kependidikan harus
ditingkatkan etos kerja dan profesionalismenya. Perbaikan pada aspek materi
[kurikulum], pendekatan, dan metodologi yang masih berorientasi pada sistem
tradisional, perbaikan pada aspek manajemen pendidikan itu sendiri. Tetapi
usaha melakukan inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi harus secara
mendasar dan menyeluruh, mulai dari fungsi, tujuan, metode, strategi, materi
(kurikulum), lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Dengan kata lain, penataan
pendidikan Islam haruslah bersifat komprehensif dan menyeluruh, baik pada
tingkat konsep maupun penyelenggaraan; tidak lagi adhoc dan incremental
seperti sering terjadi di masa silam.
Penataan fungsi pendidikan Islam, tentu dengan
memperhatikan dunia kerja, sebab dunia kerja mempunyai andil dan rentang waktu
yang cukup besar dalam jangka kehidupan pribadi dan kolektif. Dari gambaran tersebut
di atas, tanpaknya perlu menyusun
langkah-langkah strategi sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan
menempatkan pendidikan Islam pada peran yang semestinya dengan berusaha menata
ulang paradigma pendidikan Islam sehingga pendidikan Islam kembali bersifat aktif
progresif. Langkah-langkah strategi tersebut diantaranya, yaitu: Pertama, dikembangkan
dan dijabarkan atas konsep dasar kebutuhanan manusia. Perlu menempatkan kembali
seluruh aktivitas pendidikan di bawah “kerangka dasar kerja spritual”. Seluruh
aktivitas intelektual dan proses pendidikan senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai
agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktivitas pendidikan sebagai upaya menegakkan
ajaran agama dengan memanusiakan manusia dalam konteks kehidupannya. Kedua,
perlu ada perimbangan (balancing) antara disiplin atau kajian-kajian
agama dengan pengembangan intelektualitas dalam program kurikulum pendidikan.
Sistem pendidikan Islam harus menganut integrated curriculum, artinya perpaduan,
koordinasi, harmonis, dan kebulatan materi-materi pendidikan dengan ajaran
Islam, dan bukan separated subject curriculum maunpun correlated
curriculum.
Maka dengan konsep integrated curriculum, proses
pendidikan akan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama dengan kajian
lain (non-agama) dalam pendidikan Islam yang merupakan suatu keharusan, apabila
menginginkan pendidikan Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat. Ketiga,
perlu dikembangkan pendidikan yang berwawasan kebebasan, sehingga insan
akademik dapat melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal. Kenapa
demikian, karena selama masa kemunduran Islam, telah tercipta stigma dengan
dikondisikan banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan, perbedaan
pandapat dan pandangan yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan
intelektual rasional. Kesempatan berijtihad yang selama ini di anggap tertutup juga
menjadi malapetaka bagi perkembangan pemikiran “rasional intelektual” dan ikut
terkubur. Kita tidak mempunyai ruang bebas untuk mengekspresikan pemikiran,
pandangan, dan gagasan. Apabila muncul pemikiran baru yang berbeda dengan mainstream,
seringkali dianggap sebagai pengkaburan, penyesetan dan penyimpangan dari
agama dan kadang kala, kritik terhadapan pandangan dan pemikiran keagamaanpun
dianggap sebagai kritik terhadap otoritas Tuhan, nabi dan lain-lain. Agama
kemudian dijadikan sebagai otoritas baru untuk memasung dan mengkerdilkan
(membonsai) pemikiran-pemikiran inovatif yang muncul.
Maka, dengan upaya menghilkangkan atau
minimal membuka kembali sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang
bagi perdebatan dan kajian, akan menjadikan wilayah pengembangan intelektual
semakin luas yang tentu membuka peluang lebar bagi pengembangan keilmuan
didunia pendidikan Islam pada khususnya dan Islam pada umumnya. Keempat, mulai
melakukan strategi pendidikan yang membumi pada kebutuhan nyata masyarakat yang
akan menghartar peserta didik pada kebutuhan akhirat. Mengembangkan pendidikan
Islam berwawasan kebudya dan masyarakat, pendidikan yang berwawasan kebebasan
dan demokrasi, pendidikan yang menyenangkan dan mencerdaskan. Diperlukan pendidikan
yang menghidupkan kembali tradisi intelektual yang bebas, dialogis, inovatif,
dan kreatif. adalah sahabat agama (syariah), dan saudara sesunya. Agama dan kebebasan
berpikir merupakan dua mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan.
Dari pandangan ini kebebasan berpikir mutlak
diperlukan untuk melahirkan intelektualintelektual yang memiliki pandangan
keagamaan yang baru, segar, dan jernih. Kita berharap disain pendidikan Islam
pada era informasi, era globalisasi, menjadi era berhembusnya kebebasan berpikir,
sehingga mendorong lahirnya pemikir-pemikir keagamaan yang memiliki kemampuan
bersaing, kritis, transformatif, inovatif, dan konstruktif dalam menghadapi
tantang perubahan.
Dengan demikian mutu pendidikan merupakan hal
yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk dicapai. Sebab pendidikan akan
menjadi sia-sia bila mutu proses dan lulusannya rendah, tidak terbangun jiwa
jika out put pendidikannya menambah beban masyarakat, keluarga, dan
negaranya. Saat sekarang ini, ada keinginan dari masyarakat dan berbagai
lembaga pendidikan Islam untuk menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu
pendidikan alternatif. Tetapi pemikiran ini memerlukan paradigma baru untuk
meningkatkan kualitan pendidikannya.
Kelemahan pendidikan Islam dewasa ini,
disebabkan oleh faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk
memperkaya persepsi, dan ketajaman interpretasi (insight), kelemahan
kelembagaan [organisasi], kelemahan ilmu dan teknologi. Apabila hal ini menjadi
fokus, maka pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi, tidak hanya
terkait dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga strategi dan
taktik operasional dan metodologinya. Strategi dan taktik itu, bahkan sampai
menuntut perombakan model-model sampai dengan institusi-institusinya dan
cultural dalam menunjukkan perannya untuk mewujudkan pendidikan Islam yang
bermutu dan unggul.
Berbicara tentang pendidikan yang mutu dan
unggul, tentu saja harus didasarkan pada suatu standar dan ukuran kemajuan (benchmark)
tertentu yang terbuka (accountable), sehingga publik dengan mudah
mengikuti dan menilai kemajuan pendidikan yang ada. Apakah pendidikan yang
bermutu dan unggul dapat dilihat dari lulusan dengan nilai tinggi atau dilihat dari
lulusannya dapat diserap pasar dengan cepat, ataukah dinilai oleh Badang
Akreditasi Nasional [BAN] dengan predikat terakreditasi dengan nilai A, B, dan
C atau tidak terakreditasi memiliki kompetensi untuk mengajar.
Realitas menunjukkan banyak siswa lulus SLTA
memiliki nilai tinggi, tapi tidak dapat meneruskan ke perguruan tinggi, karena
disebabkan oleh biaya, orang tua tidak mampu. Sarjana lulus dengan nilai
tinggi, ujung-ujungnya menjadi buruh/ pedagang, pengangguran, lantaran tidak
memiliki koneksi, walaupun hal yang ditekuni dan dikerjakan memang tidak salah,
tetapi tidak macht atau mismacht dengan pendidikan yang ditekuni.
Inilah kondisi yang dihadapi pendidikan di negeri ini. Selain itu, manusia
unggul seperti apa yang dikehendari dari produk pendidikan, karena bukan
sekedar pendidikan yang unggulan.
Dalam konteks historis, manusia yang dapat
dijadikanteladan adalah menusia yang dikategori unggulan bukanlah semata-mata ditentukan
lembaga pendidikan yang membesarkannya, malahan lebih banyak dihasilkan oleh
keluarga atau masyarakat yang mengelilinginya. Lembaga pendidikan pesantren,
biayanya murah, santri banyak yang gratis, dianggap tradisonal, tetapi banyak melaihrkan
para pahlawan, para tokoh pemikir bangsa. Maka dalam konteks ini, proses
pendidikan di pesantren lebih berlaku dan faktor utamanya adalah keteladanan,
kesungguhan, kerendahan hati, kesederhanaan, keikhlasan, yang dibangun oleh
kiai dan para gurunya dalam proses, tetapi nilai-nilai ini pada zaman sekarang lebih
mendapatkan respons yang kurang baik.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa
pendidikan yang bermutu dan unggul adalah memiliki visi, misi, dan tujuan yang
jelas, memiliki program pendidikan dan pembelajaran yang berorientasi pada
kebutuhan masyarakat, inovatif dan pengembangan ilmu dan teknologi, memiliki
sumberdaya yang profesional, memiliki manajemen yang profesional dan
bertanggungjawab. Lulusannya memiliki standar kompetensi pengetahuan (knowledge)
kognitif yang memadai, memiliki kemampuani afektif yang anggun, yaitu memiliki kepribadian
dan moral yang tinggi, jujur, bertanggungjawan, dan bersamangat untuk melakukan
inovasi, memiliki kemampuan psikomotorik yang tinggi, memiliki skill untuk
menjawab kabutuhan masyarakat, melakukan kegiatan secara terampil, dan memiliki
kemampuan bertindak yaitu menghasilkan sesuatu yang konkrit dan menghasilkan
jasa, serta dapat diserap pasar atau pengguna pendidikan.
Dengan dasar ini, maka pendidikan Islam perlu
membangun sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia yang
berkualitas, dilandasai dengan nilai-nilai ilahiyah, kemanusian (insaniyah),
lingkungan dan berbudaya, manajemen pendidikan dengan berorientasi pada
profesionalisme dan mutu, menyerap aspirasi dan mendayagunakan potensi masyarakat,
berorientasi pada otonomi, meningkatkan demokratisasi penyenggaraan pendidikan,
serta memenuhi permintaan perubahan arus globalisasi. Katakan saja, konsep
hasil belajar yang lebih baik tentu saja berorientasi pada kemampuan kognitif,
psikomotorik, afektik, dan tindakan. Kemampuan bertindak terkait erat dengan pendidikan
life skills, artinya ketika lulusan dari satuan pendidikan Islam, sudah
memiliki pengalaman yang cukup memadai dari kehidupan pendidikannya untuk melakukan
sesuatu di masyarakat, yaitu berkewajiban mencari, menemukan dan memanfaatkan
ilmu bagi keperluan kehidupan umat manusia, sekaligus juga harus
bertanggungjawab atas apa yang terjadi selanjutnya jika dengan ilmu itu
menimbulkan kerusakan lingkngan.
Dalam kerangka ini, menurut penulis
pendidikan Islam harus berupaya untuk: Pertama, mengembangkan konsep
pendidikan integralistik, yaitu pendidikan secara utuh yang berorientasi pada Ketuhanan,
kemanusiaan dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integralistik bagi
perwujudan kehidupan yang rahmatan lil’alamin . Kedua,
mengembangkan konsep pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang berorieintasi
dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi) dengan menghargai
hah-hak asasi manusia, hak untuk menyuarakan pendapat walaupun berbeda,
mengembangkan potensi berpikir, berkemauan dan bertindak sesuai dengan
nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Ketiga, mengembangkan konsep pendidikan pragmatis,
yaitu memandang manusia sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu untuk
melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik jasmani maupun
rohani dan mewujudkan manusia yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan
peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, mengembangkan konsep
pendidikan yang berakar pada budaya yang akan dapat mewujudkan manusia yang
mempunyai kepribadiaan, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri, membangun
budaya berdasarkan budaya sendiri dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Secara
umum, konsep pendidikan Islam yang ditawarkan adalah pendidikan yang
berorientasi pada kompetensi nilai-nilai ilahiyah, knowledge, skill, ability,
social-kultural dan harus berfungsi untuk memberikan kaitan secara operasional
antara peserta didik dengan masyarakatnya, lingkungan sosial-kulturalnya, dan
selalu menerima dan ikut serta melakukan perubahan.
0 komentar:
Posting Komentar