LANDASAN FILSAFAT ILMU
A.
Pendahuluan
Sebagaimana
yang diketahui bahwa filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat
seseorang bisa menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja yang mana
filsafat bersifat kompleksitas, kemudian mendiskusikan dan menguji kesahihan
dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses
kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat
pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang
disebut ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan
diorganisasi sedemikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan secara
prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji
kebenaran ilmiahnya.
Seiring dengan hal itu,
filsafat sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan melahirkan tiga dimensi
utama sekaligus sebagai obyek kajiannya. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini
adalahontologi (apa yang menjadi obyek suatu imu), epistemologi (cara
mendapatkan ilmu), dan aksiologi (untuk apa ilmu tersebut). Ontologi merupakan
hakikat yang ada ( being) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang
disebut sebagaikenyataan dan kebenaran. Epistemologi adalah sarana, sumber,
tatacara untukmenggunakannya dengan langkah-langkah progresinya menuju
pengetahuan(ilmiah). Adapun aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai
tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam
penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu
Oleh karna itu,
untuk mengetahui landasan filsafat ilmu maka dalam makalah ini akan diuraikan
tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi filsafat ilmu.
B.
Landasan Ontologi
Dalam persoalan
ontologi seseorang mengahadapi persoalan bagaimanakah menerangkan hakikat dari
segala yang ada. Berbicara mengenai hakikat sesuatu sangatlah luas sekali,
yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat adalah realitas, realita
adalah sesuatu yang riil. Rill artinya kenyataan yang sebenarnya, bukan
kenyataan yang sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang
berubah.
Ontologi
terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud (being) dan logos yang berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang
pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada
menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada
manusia, ada alam, dan ada kausal dalam suatu hubungan yang meyeluruh, teratur,
dan tertib dalam keharmonisan.[1]
Kemudian Noeng
Muhadjir dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa, ontologi membahas
tentang yang ada, yang tidak terikat oleh suatu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang
universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.[2]
Sedangkan Jujun
S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat sebagai Sebuah Pengantar Ilmu,
mengatakan ontologi membahas apa yang ingin diketahui oleh seseorang, seberapa
jauh seseorang itu ingin tahunya, atau dengan perkataan lain ontologi adalah
pengkajian mengenai teori yang ada.[3]
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa ontologi adalah Ontologi dapat pula
diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu
atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera.
Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada).
Pada pembahasan
mengenai ontologi maka akan ditemukan beberapa pandangan-pandangan pokok
pemikiran yaitu sebagai berikut:
1. Monoisme
Aliran ini berpendapat
bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja
sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani.
Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah
salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan
yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran
ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya.
Istilah monoisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe.
Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
a.
Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan
ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya
bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah
materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidak lah merupakan suatu kenyataan yang
berdiri sendiri. Jiwa atau ruh adalah merupakan akibat saja dari proses gerakan
kebenaran dengan cara tertentu.
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales
(624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya
bagi kehidupan.[4]
Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan
alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370
SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak
jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan
asal kejadian alam.
b.
Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu
sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran
ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak
tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik.
Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik
akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.
Dengan kata lain bahwa aliran ini beranggapan hakikat
kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh, yaitu sesuatu yang
tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis
daripada penjelmaan ruhani
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran
Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di di alam
mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang
menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi,
idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.[5]
2. Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai
asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad
dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri,
sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam
ini.
Tokoh paham ini adalah
Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia
menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia
ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode
(1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini
pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes
(metode keraguan descartes/ cartesian doubt). Disamping Descartes, ada
juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz
(1646-1716 M).
3. Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan
bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari
keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai
paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur,
lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada
masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa
substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah,
air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910
M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum,
yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
4. Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak
ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif.
Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno,
yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi
tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua,
bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun
realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada
orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M).
Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata
manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di
mana ia hidup.
5. Aliran Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda.
Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari
bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not,
gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya
orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang
berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya
seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai
Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah
hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang
sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain.
Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa
satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat
memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M),
yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia
bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi,
agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia
mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.[6]
C.
Landasan Epistemologi
Masalah epistemologi
bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan
dengan sarana apakah seseorang dapat memperoleh pengetahuan. Jika seseorang
mengetahui batas-batas pengetahuan, seseorang tersebut tidak akan mencoba untuk
mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang
sebenarnya, seseorang baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah
orang terebut meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Seseorang mungkin
terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin
sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang
dipunyai seseorang hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang
memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak
memungkinkannya.
Epistomologi berasal dari bahasa Yunani ”episteme”
dan ” logos”. ” Episteme” berarti pengetahuan (knowledge),
”logos” berarti ilmu. Dengan demikian epistomologi secara etimologis
berarti teori pengetahuan.[7]
Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu,
serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut,
Brameld (dalam Mohammad Noor Syam, 1984: 32) mendefinisikan epistomologi
sebagai “it is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is
conveying the truth to his student”. Maksudnya adalah bahwa
epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan
kebenaran kepada murid-muridnya”. Disamping itu banyak sumber yang
mendefinisikan pengertian epistomologi diantarannya.
1.
Epistemologi adalah
cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang
mengitari teori ilmu pengetahuan.
2.
Epistomologi adalah
pengetahuan sistematis yang membahas tentang bagaimana terjadinnya pengetahuan,
sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh
pengetahuan, validitas dan kebenaranpengetahuan (Ilmiah).
3.
Epistomologi adalah
cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan yaitu tentang
terjadinnya pengetahuan dan kesahihan atau kebenaran pengetahuan.
4.
Epistomologi adalah
cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, ruang
lingkup pengetahuan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa epistomologi
adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, ruang
lingkup pengetahuan. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaanseperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya
proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan
keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan
yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air
mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan
pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya
yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas
permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Berikut adalah aliran-aliran dalam epistemologis
yaitu:
1. Rationalisme
Aliran ini berpendapat semua pengetahuan bersumber dari akal pikiran
atau ratio. Tokohnya antara lain: Rene Descrates (1596-1650), yang membedakan
adanya tiga idea, yaitu: innate ideas (idea bawaan), yaitu sejak manusia
lahir, adventitinous ideas, yaitu idea yang berasal dari luar manusia,
dan faktitinous ideas, yaitu idea yang dihasilkan oleh pikiran itu
sendiri. Tokoh lain yaitu: Spinoza (1632-1677), Leibniz (1666-1716).
2. Empirisme
Aliran ini berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh
melalui pengalaman indera. Indera memperoleh pengalaman (kesan-kesan) dari
alamempiris, selanjutnya kesan-kesan tersebut terkumpul dalam diri manusia menjadi
pengalaman. Tokohnya antara lain:
a. John Locke (1632-1704), berpendapat bahwa pengalaman dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu: (a) pengalaman luar (sensation), yaitu
pengalaman yang diperoleh dari luar, dan (b) pengalaman dalam, batin
(reflexion). Kedua pengalaman tersebut merupakan idea yang sederhanayang
kemudian dengan proses asosiasi membentuk idea yang lebih kompleks.
b. David Hume (1711-1776), yang meneruskan tradisi empirisme. Hume berpendapat
bahw ide yang sederhana adalah salinan (copy) dari sensasi-sensasi sederhana
atau ide-ide yang kompleks dibentuk dari kombinasi ide-ide sederhana atau
kesan-kesan yang kompleks. Aliran ini kemudian berkembang dan mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama pada
abad 19 dan 20.
3. Realisme
Realisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa obyek-obyek
yang diserap lewat indera adalah nyata dalam diri obyek tersebut. Obyek-obyek
tersebut tidak tergantung pada subjek yang mengetahui atau dengan kata lain
tidak tergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia luar saling
berinteraksi, tetapi interaksi tersebut mempengaruhi sifat dasar dunia
tersebut. Dunia telah ada sebelum pikiran menyadari serta akan tetap ada
setelah pikiran berhenti menyadari. Tokoh aliran ini antara lain: Aristoteles
(384-322 SM), menurut Aristoteles, realitas berada dalam benda-benda
kongkrit atau dalam proses-proses perkembangannya.
4. Kritisisme
Kritisisme menyatakan bahwa akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari
empiri (yang meliputi indera dan pengalaman). Kemudian akal akan menempatkan,
mengatur, dan menertibkan dalam bentuk-bentuk pengamatan yakni ruang
dan waktu. Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan sedangkan pengolahan
akal merupakan pembentukannya. Tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804).
Kant mensintesakan antara rasionalisme dan empirisme.
5. Positivisme
Tokoh aliran ini diantaranya adalah August Comte, yang memiliki pandangan
sejarah perkembangan pemikiran umat manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga
tahap, yaitu: a). Tahap Theologis, yaitu manusia masih percaya pengetahuan atau
pengenalan yang mutlak. Manusia pada tahap ini masih dikuasai oleh
tahyul-tahyul sehingga subjek dengan obyek tidak dibedakan. b).Tahap Metafisis,
yaitu pemikiran manusia berusaha memahami dan memikirkan kenyataan akan tetapi
belum mampu membuktikan dengan fakta. c)
Tahap Positif, yang ditandai dengan pemikiran manusia untuk menemukan
hukum-hukum dan saling hubungan lewat fakta. Maka pada tahap ini pengetahuan
manusia dapat berkembang dan dibuktikan lewat fakta (Harun H, 1983: 110 dibandingkan dgn Ali
Mudhofir, 1985: 52, dlm Kaelan, 1991: 30)
6. Skeptisisme
Menyatakan bahwa pencerapan indera adalah bersifat menipu ataumenyesatkan.
Namun pada zaman modern berkembang menjadi skeptisisme medotis
(sistematis) yang mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu pengalamandiakui
benar. Tokoh skeptisisme adalah Rene Descrates (1596-1650).
7. Pragmatisme
Aliran ini
tidak mempersoalkan tentang hakikat pengetahuan namun mempertanyakan tentang
pengetahuan dengan manfaat atau guna dari pengetahuan tersebut. Dengan kata
lain kebenaran pengetahuan hendaklah dikaitkan dengan manfaat dan sebagai
sarana bagi suatu perbuatan. Tokoh aliran ini, antara lain: C.S Pierce (1839-
1914), menyatakan bahwa yang terpenting adalah manfaat apa (pengaruh apa) yang
dapat dilakukan suatu pengetahuan dalam suatu rencana. Pengetahuan mengenai
sesuatu hal tidak lain merupakan gambaran yang diperoleh mengenai akibat yang
dapat disaksikan. (Ali Mudhofir, 1985:53).
D. Landasan Aksiologi
Aksiologi ilmu bisa diartikan
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh. Seperti diketahui setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah,
mempunyai tiga dasar, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aksiologi
ilmu ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai-nilai yang
terkandung dalam ilmu, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dasar
aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan
yang didapatkanya.[8]
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi
kajian dalam bidang aksiologi ini adalah berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah
moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[9]
Oleh karena itu, pada tingkat
aksiologis, pemahaman tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai
menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu sendiri. Oleh karena
dalam penerapannya ilmu pengetahuan juga mempunyai efeknegatif dan desktruktif,
maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk mengendalikan potensi nafsu
angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan ilmu pengetahuan. Di
sininlah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi penyemangat yang baik
bagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik, buruk, semestinya,
benar atau salah.
E. Kesimpulan
1.
Dalam
persoalan ontologi seseorang mengahadapi persoalan bagaimanakah menerangkan
hakikat dari segala yang ada. Berbicara mengenai hakikat sesuatu sangatlah luas
sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada.
2.
Masalah epistemologi
bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan
dengan sarana apakah seseorang dapat memperoleh pengetahuan. Jika seseorang
mengetahui batas-batas pengetahuan, seseorang tersebut tidak akan mencoba untuk
mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui.
3.
Aksiologi ilmu ialah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu,
yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dasar aksiologis ilmu
membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang
didapatkanya.
KEPUSTAKAAN
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012
Louis o. Kattsoff, Pengantar
Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004
Misnal
Munir, dan Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Putaka Belajar
Offset, 2001
Muhadjir,
Noeng, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan post Modernisme, Yogyakarta:
Rakesarin, 2001
Suhartono,
Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Kelompok Penerbit Arruz
Media, 2007
Suriasumantri,
Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: Rosdakarya, 2002
[1] Suparlan
Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Arruz
Media, 2007), h. 23
[2] Noeng
Muhadjir, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan post Modernisme,
(yogyakarta: Rakesarin, 2001)h. 57
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 63
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu, (Bandung: Rosdakarya, 2002), h. 29
[5] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h.
139
[6] Ibid., h.
148
[7] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Putaka Belajar
Offset, 2001), h. 16
[8] Louis o.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h. 316
[9] Jujun S.
Suriasumantri, O.p Cit., h. 34-35
0 komentar:
Posting Komentar