Kamis, 19 April 2012

landasan filsafat ilmu


LANDASAN FILSAFAT ILMU

A.       Pendahuluan
Sebagaimana yang diketahui bahwa filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat seseorang bisa menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja yang mana filsafat bersifat kompleksitas, kemudian mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya.
Seiring dengan hal itu, filsafat sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan melahirkan tiga dimensi utama sekaligus sebagai obyek kajiannya. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini adalahontologi (apa yang menjadi obyek suatu imu), epistemologi (cara mendapatkan ilmu), dan aksiologi (untuk apa ilmu tersebut). Ontologi merupakan hakikat yang ada ( being) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagaikenyataan dan kebenaran. Epistemologi adalah sarana, sumber, tatacara untukmenggunakannya dengan langkah-langkah progresinya menuju pengetahuan(ilmiah). Adapun aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu
Oleh karna itu, untuk mengetahui landasan filsafat ilmu maka dalam makalah ini akan diuraikan tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi filsafat ilmu.
B.       Landasan Ontologi
Dalam persoalan ontologi seseorang mengahadapi persoalan bagaimanakah menerangkan hakikat dari segala yang ada. Berbicara mengenai hakikat sesuatu sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat adalah realitas, realita adalah sesuatu yang riil. Rill artinya kenyataan yang sebenarnya, bukan kenyataan yang sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos  yang berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausal dalam suatu hubungan yang meyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan.[1]
Kemudian Noeng Muhadjir dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh suatu perwujudan tertentu.  Ontologi membahas tentang yang ada yang universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.[2]
Sedangkan Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat sebagai Sebuah Pengantar Ilmu, mengatakan ontologi membahas apa yang ingin diketahui oleh seseorang, seberapa jauh seseorang itu ingin tahunya, atau dengan perkataan lain ontologi adalah pengkajian mengenai teori yang ada.[3]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ontologi adalah Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada).  
Pada pembahasan mengenai ontologi maka akan ditemukan beberapa pandangan-pandangan pokok pemikiran yaitu sebagai berikut:
1.    Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monoisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
a.       Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidak lah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa atau ruh adalah merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan cara tertentu.
Aliran pemikiran ini  dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan.[4] Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.
b.        Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir  dalam jiwa. Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.
Dengan kata lain bahwa aliran ini beranggapan hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis daripada penjelmaan ruhani
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di di alam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.[5]

2.    Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan descartes/ cartesian doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).

3.    Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.

4.    Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.

5.    Aliran Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.[6]

C.      Landasan Epistemologi
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah seseorang dapat memperoleh pengetahuan. Jika seseorang mengetahui batas-batas pengetahuan, seseorang tersebut tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, seseorang baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah orang terebut meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Seseorang mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang  dipunyai seseorang hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Epistomologi berasal dari bahasa Yunani ”episteme” dan ” logos”. ” Episteme” berarti pengetahuan (knowledge), ”logos” berarti ilmu. Dengan demikian epistomologi secara etimologis berarti teori pengetahuan.[7] Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut, Brameld (dalam Mohammad Noor Syam, 1984: 32) mendefinisikan epistomologi sebagai “it is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student”. Maksudnya adalah bahwa epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”. Disamping itu banyak sumber yang mendefinisikan pengertian epistomologi diantarannya.
1.         Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
2.         Epistomologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang bagaimana terjadinnya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaranpengetahuan (Ilmiah).
3.         Epistomologi adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan kesahihan atau kebenaran pengetahuan.
4.         Epistomologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa epistomologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaanseperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Berikut adalah aliran-aliran dalam epistemologis yaitu:
1.    Rationalisme
 Aliran ini berpendapat semua pengetahuan bersumber dari akal pikiran atau ratio. Tokohnya antara lain: Rene Descrates (1596-1650), yang membedakan adanya tiga idea, yaitu: innate ideas (idea bawaan), yaitu sejak manusia lahir, adventitinous ideas, yaitu idea yang berasal dari luar manusia, dan faktitinous ideas, yaitu idea yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri. Tokoh lain yaitu: Spinoza (1632-1677), Leibniz (1666-1716).
2.      Empirisme
 Aliran ini berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman indera. Indera memperoleh pengalaman (kesan-kesan) dari alamempiris, selanjutnya kesan-kesan tersebut terkumpul dalam diri manusia menjadi pengalaman. Tokohnya antara lain:
a.       John Locke (1632-1704), berpendapat bahwa pengalaman dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: (a) pengalaman luar (sensation), yaitu pengalaman yang diperoleh dari luar, dan (b) pengalaman dalam, batin (reflexion). Kedua pengalaman tersebut merupakan idea yang sederhanayang kemudian dengan proses asosiasi membentuk idea yang lebih kompleks.
b.      David Hume (1711-1776), yang meneruskan tradisi empirisme. Hume berpendapat bahw ide yang sederhana adalah salinan (copy) dari sensasi-sensasi sederhana atau ide-ide yang kompleks dibentuk dari kombinasi ide-ide sederhana atau kesan-kesan yang kompleks. Aliran ini kemudian berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama pada abad 19 dan 20.
3.      Realisme
Realisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa obyek-obyek yang diserap lewat indera adalah nyata dalam diri obyek tersebut. Obyek-obyek tersebut tidak tergantung pada subjek yang mengetahui atau dengan kata lain tidak tergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, tetapi interaksi tersebut mempengaruhi sifat dasar dunia tersebut. Dunia telah ada sebelum pikiran menyadari serta akan tetap ada setelah pikiran berhenti menyadari. Tokoh aliran ini antara lain: Aristoteles (384-322 SM), menurut Aristoteles, realitas berada dalam benda-benda kongkrit atau dalam proses-proses perkembangannya.
4.      Kritisisme
Kritisisme menyatakan bahwa akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari empiri (yang meliputi indera dan pengalaman). Kemudian akal akan menempatkan, mengatur, dan menertibkan dalam bentuk-bentuk pengamatan yakni ruang dan waktu. Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan sedangkan pengolahan akal merupakan pembentukannya. Tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). Kant mensintesakan antara rasionalisme dan empirisme.

5.      Positivisme
Tokoh aliran ini diantaranya adalah August Comte, yang memiliki pandangan sejarah perkembangan pemikiran umat manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu: a). Tahap Theologis, yaitu manusia masih percaya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak. Manusia pada tahap ini masih dikuasai oleh tahyul-tahyul sehingga subjek dengan obyek tidak dibedakan. b).Tahap Metafisis, yaitu pemikiran manusia berusaha memahami dan memikirkan kenyataan akan tetapi belum mampu membuktikan dengan fakta.  c) Tahap Positif, yang ditandai dengan pemikiran manusia untuk menemukan hukum-hukum dan saling hubungan lewat fakta. Maka pada tahap ini pengetahuan manusia dapat berkembang dan dibuktikan lewat fakta  (Harun H, 1983: 110 dibandingkan dgn Ali Mudhofir, 1985: 52, dlm Kaelan, 1991: 30)
6.      Skeptisisme
Menyatakan bahwa pencerapan indera adalah bersifat menipu ataumenyesatkan. Namun pada zaman modern berkembang menjadi skeptisisme medotis (sistematis) yang mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu pengalamandiakui benar. Tokoh skeptisisme adalah Rene Descrates (1596-1650).
7.      Pragmatisme
Aliran ini tidak mempersoalkan tentang hakikat pengetahuan namun mempertanyakan tentang pengetahuan dengan manfaat atau guna dari pengetahuan tersebut. Dengan kata lain kebenaran pengetahuan hendaklah dikaitkan dengan manfaat dan sebagai sarana bagi suatu perbuatan. Tokoh aliran ini, antara lain: C.S Pierce (1839- 1914), menyatakan bahwa yang terpenting adalah manfaat apa (pengaruh apa) yang dapat dilakukan suatu pengetahuan dalam suatu rencana. Pengetahuan mengenai sesuatu hal tidak lain merupakan gambaran yang diperoleh mengenai akibat yang dapat disaksikan. (Ali Mudhofir, 1985:53).

D.      Landasan Aksiologi
Aksiologi ilmu bisa diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Seperti diketahui setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aksiologi ilmu ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya.[8]
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[9]
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu pengetahuan juga mempunyai efeknegatif dan desktruktif, maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan ilmu pengetahuan. Di sininlah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi penyemangat yang baik bagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik, buruk, semestinya, benar atau salah.



E.       Kesimpulan
1.      Dalam persoalan ontologi seseorang mengahadapi persoalan bagaimanakah menerangkan hakikat dari segala yang ada. Berbicara mengenai hakikat sesuatu sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada.
2.      Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah seseorang dapat memperoleh pengetahuan. Jika seseorang mengetahui batas-batas pengetahuan, seseorang tersebut tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui.
3.      Aksiologi ilmu ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya.
















KEPUSTAKAAN

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012

Louis o. Kattsoff,  Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004

Misnal Munir, dan Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Putaka Belajar Offset, 2001

Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan post Modernisme, Yogyakarta: Rakesarin, 2001

Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Kelompok Penerbit Arruz Media, 2007

Suriasumantri, Jujun  S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000

Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: Rosdakarya, 2002



[1] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Arruz Media, 2007), h. 23
[2] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan post Modernisme, (yogyakarta: Rakesarin, 2001)h. 57
[3] Jujun  S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 63
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Rosdakarya, 2002), h. 29
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 139
[6] Ibid., h. 148
[7] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Putaka Belajar Offset, 2001), h. 16
[8] Louis o. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h. 316
[9] Jujun S. Suriasumantri, O.p Cit., h. 34-35

0 komentar:

Posting Komentar