TASAWUF IBN AL-‘ARABI (WAHDAT AL-WUJUD)
DAN AL-JILLI (AL-INSAN AL-KAMIL)
A.
Pendahuluan
Tidak diragukan lagi bahwa tasawuf telah memberikan sumbangan yang
sangat besar bagi kehidupan spiritual dan intelektual Islam. Pengaruh tasawuf
tidak terbatas pada golongan elit keagamaan, tetapi menjangkau seluruh lapisan
masyarakat. Tesawuf telah mempengaruhi sikap hidup moral dan tingkah laku
masyarakat, tasawuf telah mempengaruhi kesadaran estetika, sastra, filsafat dan
pandangan hidup.
Tasawuf dapat dibedakan kepada dua aliran, yaitu tasawuf sunni dan
tasawuf falsafi. Tasawuf corak pertama memagari dirinya dengan al-Qur’an dan
Sunnah serta menjauhi penyimpangan yang dapat menuju kepada kesesatan dan
kekafiran. Sedangkan tasawuf corak kedua memasukkan kedalamnya ajaran dan
unsur-unsur filsafat.[1]
Apabila dibandingkan konsep-konsep tasawuf sunni dan tasawuf
falsafi. Kedua aliran tasawuf ini sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari
al-Qur’an dan Sunnah serta sama-sama mengamalkan Islam secara konsekuensi.
Perbedaan yang jelas diantara keduanya adalah terletak pada terciptanya
komunikasi langsung antara sufi dengan Tuhan. Menurut tasawuf Sunni bahwa
antara makhluk dan Khalik tetap ada jarak yang tak terjembatani sehingga tidak
berpadu karena keduanya tidak seesensi, lain halnya dengan tasawuf falsafi
dengan tegas mengatakan manusia seesensi denga Tuhan. Karena manusia berasal
dan tercipta dari esensinya, oleh karena itu, keduanya dapat berpadu apabila
kondisi itu telah tercipta. Untuk mengetahui ahli sufi yang membahas tentang
tasawuf falsafi ini adalah salah satunya al-arabi dengan konsep wahdat al-wujud
nya dan al-jilli dengan konsep insan kamil nya maka penulis akan menguraikan
pada pembahasan berikutnya.
B.
AL-‘Arabi
1.
Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Muhyiddin al-Hitami
al-Ta’i al-Andalusi.[2]
Di Andalusi al-‘Arabi dikenal dengan nama Ibn al-’Arabi (tanpa alif lam).
Disamping itu, al-‘Arabi biasa juga disebut dengan al-Qutb, al-Syaikh al-Akbar,
atau al-Kibrit al-Ahmar.[3]
Al-‘arabi lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H/ 28 Juli 1163 M di Mercia dan
meninggal pada tanggal 28 Rabiul Akhir 638 H/ 16 November 1240 M.[4]
Ibn al-’Arabi berasal dari keluarga berpangkat, hartawan dan
ilmuwan di Mercia, Andalusia Tenggara. Ketika Ibn al-’Arabi berumur delapan
tahun, keluarganya pindah ke Sevilla, tempat dimana Ibn al-’Arabimu mulai
menuntut ilmu dan belajar al-Qur’an, Hadits dan Fiqh bersama sejumlah murid
pada seorang faqih terkenal di Andalusia, yang bernama Ibn Hazm al-Zahiri.
Setelah berumur 30 tahun mulailah Ibn al-’Arabi berkelana ke
berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Di berbagai daerah
ini, Ibn al-’Arabi belajar kepada beberapa orang sufi, diantaranya adalah Abu
Madyan al-Gaus al-Talim Sari dan Yasmin Musyaniyah, keduanya banyak
mempengaruhi ajaran Ibnu ‘Arabi dikabarkan ia pernah bertemu dengan Ibn Rusyd,
seorang filosof muslim dan tabib istana dinasti Barbardari Alomohad, di Kardova.[5]
Kemudian selama beberapa waktu ia bolak balik anatara Hijjaz, Yaman, Syiria,
Irak dan Mesir. Akhirnya pada tahun 620 H Ibn al-’Arabi menetap di Hijjaz
sampai akhir hayat.
2.
Karya-karya Ibn al-’Arabi
Ibnu ‘Arabi termasuk salah seorang penulis muslim yang produktif.
Di dalam concise encyclopedia of Arabic Civilization disebutkan jumlah
karya tulis Ibnu ‘Arabi mencapai 300 karya. Dan hanya 150 karya yang dijumpai.
Dan hanya sebagian kecil yang hanya diterbitkan. Karya monumentalnya adalah al-Futuhat
al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 M,[6]
ketika ia melaksanakan ibadah haji dan Fusus al-Hikam yang kedua karya tersebut
memuat ajaran tasawufnya. Kitab-kitabnya yang lain adalah Musyahadah
al-Asrar, al-Misbah Fi al-Jami’i Buin al-Sihah Fi al-Hadits al-Jam Uwa al-Lujsu
Asraru Ma’ni al-Tanzil Futuhat al-Madaniyah, al-Tadbiral Ilahiyyahdan
al-Isra’ila Maqam al-Asra.[7]
Kemudian ada karya pendek dari Ibn al-’Arabi yang berkaitan dengan metafisika
dan kosmologi yang patut disebutkan disini yaitu Insya’ al-Dawair, ‘Uqlat
al-Mustawfiz, dan al-tadbirat al-illahiyah. Karya Ibn al-’Arabi yang
tidak boleh dilupakan adalah Ruh al-Quds yang disusunnya di Mekkah.
Melalui karya ini Ibn al-’Arabi mengkritik penyimpangan-penyimpangan dalam
praktek sufisme dan mengungkapkan banyak informasi tentang para sufi yang
mengajarnya dan yang ditemuinya di Andalusia.[8]
Selanjutnya Syajarat al-Kawn adalah karya Ibn al-’Arabi yang
memaparkan doktrinya tentang pribadi Nabi Muhammad. Karya pendek Ibn al-’Arabi
yaitu Ma’la Budda Minhu li al-Murid yang ditulis di Mosul adalah jawaban terhadap
pertanyaan tentang apa yang harus diimani dan apa yang harus dilakukan oleh
pencari pada permulaan.
3.
Konsep Wahdat al-Wujud Ibn
al-’Arabi
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu
wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan
al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.[9]
Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan
ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak
dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah
digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan
antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang
tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi
hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya
digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya
adalah satu kesatuan wujud.
Dengan demikian kata wujud terutama dan khusus yang digunakan oleh
Ibn al-‘Arabi untuk menyebut wujud Tuhan. Ia mengatakan wujud satu-satunya
adalah Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apa pun selain
Tuhan tidak mempunyai wujud. Secara
logis dapat diambil kesimpulan, kata wujud tidak dapat diberikan kepada segala
sesuatu selain Tuhan, alam dan segala sesuatu yang ada didalamnya.[10]
Lebih lanjut dijelaskan bahwa paham ini mengatakan dalam paham
wahdat al-wujud, nast yang ada dalam hulul yaitu lanut diubah
menjadi khalq (makhluk) dan lahut diubah menjadi haqq
(Tuhan). Haqq dan Khalq adalah dua bagian sesuatu. Aspek yang
sebelah luar disebut Khalq dan yang sebelah dalam disebut Haqq.
Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan padanan kata al-'Arad
(accident) dan al-Jauhar (substance) dan al-Zahir (lahir-luar-tampak),
dan al-bathin (dalam, tidak tampak).
Dalam hal ini persoalan yang akan dibahas adalah bagaimana hubungan
antara al-Haqq dan al-Halq, antara Allah dan alam, antara sang
pencipta dan ciptaan, antara Yang Esa dan yang banyak, antara al-wujud dan
al-mawjudat, antara wajib al-wujud dan al-mumkinat.[11]
Dalam padangan Ibn al-‘Arabi, alam adalah penampakan dari al-Haqq
dan dengan demikian segala sesuatu dan segala peristiwa di alam ini adalah
penampakan dari al-Haqq. Karena itu baik Tuhan maupun alam tidak dapat dipahami
kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi seperti antara yang
nampak (al-zahir) dan yang batin (al-batin), antara yang awal dan
yang akhir, antara yang satu dengan yang banyak.
Ibn al-‘Arabi memandang, realitas adalah satu, tetapi mempunyai dua
sifat yang berbeda yaitu sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Sifat ketuhanan
dan sifat kemakhlukan hadir dalam segala sesuatu yang ada di alam ini. Ini
berbeda denga teori al-Hallaj yang mengatakan bahwa sifat Ketuhanan hanya hadir
pada manusia, tidak pada makhluk-makhluk lain, dan sifat kemanusiaan hadir pada
Tuhan. Jika dalam teori al-Hallaj masih terdapat dualisme (Tuhan dan manusia),
maka dalam teori Ibn al-‘Arabi tidak terdapat dualitas. Dalam konteks ini jika
dalam teori al-Hallaj persoalan yang ditekankan adalah hubungan Tuhan dan
manusia, maka dalam teori Ibn al-‘Arabi persoalan yang diajukan adalah hubungan
antara Tuhan dan Alam, antara al-Haqq dan al-khalaq.[12]
Dalam proses penciptaan alam Ibn al-‘Arabi menggunakan perumpamaan seperti
cermin. Ibn al-‘Arabi memberikan hubungan timba balik dengan simbol ini dan
mengatakan al-khalq adalah cermin bagi al-Haqq dan al-Haqq
adalah cermin bagi al-khalq.
Perumpamaan bahwa al-khalq adalah cermin bagi al-Haqq mempunyai
dua fungsi: pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam dan kedua, untuk
menjelaskan bagaimana munculnya yang banyak dari Yang Satu. Tentang fungsi yang
pertama, yaitu menjelaskan sebab penciptaan alam, dapat dikatakan bahwa al-Haqq
mempunyai sifat senang “melihat diri-Nya” (al-tara’i). Agar dapat
“melihat diriNya”, al-Haqq menciptakan al-khalq.
Tujuan Tuhan menciptakan alam bukan hanya untuk melihat diri-Nya,
tetapi juga untuk memperlihatkan diri-Nya. Tuhan adalah sesuatu yang
tersembunyi yang tidak dikenal, karena itu Dian ingin dikenal, maka Dia
menciptakan makhluk dan memperkenalkan diri-Nya kepada mereka. Lalu mereka
mengenal-Nya.
Tentang fungsi yang kedua, yaitu menjelaskan munculnya yang banyak
dari Yang Satu dan hubungan anatara keduanya, dapat dikatakan bahwa “Yang
Melihat” yaitu al-Haqq adalah satu, tetapi bentuk atau gambar-Nya banyak
sebanyak cermin tempat bentuk atau gambar itu terlihat.[13]
Dengan demikian tentang proses penciptaan alam, dapat dilihat dalam
tulisannya fusus al-Hukam. Menurut Ibn al-‘Arabi, ada lima tingkatan tajalli
atau tanazzul zat Tuhan yaitu:
a) Tajalli zat Tuhan
dalam bentuk-bentuk al-a’yan al-sabitah yang
disebut dengan alam al-ma’ani
b) Tanazzul zat
Tuhan dari alam al-ma’ani kepada
realitas-realitas rohaniah, yang disebut
dengan ‘alam al-arwah
c) Tanazzul zat Tuhan
dalam rupa realitas-realitas al-Nasfiyah yang disebut dengan ‘alam al-Nufus
al-Natiqah
d) Tanazzul zatTuhan
dalam bentuk-bentuk jasad tanpa materi, yang disebut ‘alam al-misal
e) Tanazzul zat
Tuhan dalam bentuk jasad bermateri, yang disebut pula dengan alam al-ajsam
al-madiyah, dan disebut pula ‘alam al-Hissi atau ‘alam
al-Syahadah[14]
Melalui keterangan tersebut didapat suatu kesimpulan bahwa
tahapan-tahapan kejadian dalam proses penciptaan alam menutur ajaran tasawuf
Ibn al-‘Arabi adalah:
a)
Wujud
Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Zat yang mandiri tanpa disebabkan / berhajad
wujudNya kepada sesuatu pun
b)
Wujud
al-Haqiqah al-Muhammadiyah sebagai emanasi
pertama dari wujud Tuhan, dan daripadanya melimpah wujud-wujud lainnya.
c)
Bentuk-bentuk
al-a’yan al-sabitah (wujud-wujud yang ada pada ilmu Tuhan) yang disebut ‘Alam
al-Ma’ani
d)
Realitas-realitas
rohaniah (wujud-wujud rohani) yang disebut ‘Alam arwah
e)
Realitas-realitas
nafsiyah (wujud-wujud jiwa) yang disebut ‘Alam al-Nufus al-Natiqah
f)
Wujud-wujud
jasad tanpa materi yang disebut dengan ‘Alam al-misal
g)
Wujud-wujud
jasad bermateri yang disebut dengan ‘Alam al-ajsam al-madiyah atau ‘Alam
al-Syahadah
Dapat diakatakan secara tegas bahwa teori emanasi dalam proses
penciptaan alam telah mengisi dan mendasari sistem pemikiran Ibn al-‘Arabi.
Itulah sebabnya esensi dari alam semesta ini adalah Tuhan, sedang lahirnya
berupa materi hayalah bayang-bayang, yang sebenarnya tidak ada. Ibn al-‘Arabi
mengatakan, sesungguhnya orang-orang muqarrabin telah menetapkan bahwa
tidak ada wujud yang sesungguhnya dalam alam ini, melainkan Allah. Dan manusia
meskipun ada, sesungguhnya adanya adalah dengan Dia. Sesuatu yang tergantung
wujudnya padaNya , sebenarnya sesuatu dihukum tidak ada. Jadi, adanya makhluk
hanya bayang-bayang bagi yang punya bayang-bayang dan merupakan gambar dalam
cermin dimana wujud di luar cermin
jualah yang sebenarnya ada. Oleh karena itu makhluk seluruhnya hanyalah
bayang-bayang.
C.
Al-Jilli
1.
Biografi
Nama lengkapnya ialah ’Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ’Abd al-Karim
ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud Al-Jili. Ia mendapatkan gelar kehormatan
”syaikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu, ia juga mendapat gelar
”Quthb al-Din” (kutub/poros agama),[15]
suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Namanya dinisbatkan dengan Al-Jili
karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher mengatakan, penisbatan itu
bukan pada Jilan, tetapi pada nama sebuah desa di distrik Bagdad ”jil’.
Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, dengan
alasan bahwa menurut pengakuannya sendiri ia adalah keturunan Syeikh ‘Abd
al-Qadir al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari cucu perempuan Syeikh
tersebut. Sedangkan ‘Abd al-Qadir al-Jilani berdomisili di Bagdad sejak tahun
478 H sampai akhir hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga
berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli. Namun setelah ada
penyerbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk,
keluarga al-Jilli berimigran ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah
al-Jilli mendapatkan pendidikan yang memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia
menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh
Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (806 H), dan salah satu teman
seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (821).
Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami
kesufiannya. Ketika berkunjung ke India ini, Al-Jili melihat tasawuf falsafi
ibn Arabi dan tarekat-tarekat antara lain Syisytiyah (didirikan oleh Mu’in
al-Din al-Shysyti, 623H di Asia Tengah), Suhrawardiyah (didirikan oleh Abu
Najib al-Suhrawardi, 563 H, di Bagdad), Naqsyabandiyah (didirikan oleh Baha
al-Din al-Naqsyaband, W.791 H.di Bukhara) berkembang dengan pesat. Sebelum
sampai ke India, ia berhenti di Persia dan mempelajari bahasa Parsi. Di sanalah
ia menulis karyanya Jannat al-Ma’arif wa Ghayat Murid wa al-Ma’arif.
Pada akhir tahun 799 H ia berkunjung ke Mekkah dalam rangka
menunaikan ibadah haji, namun dalam kesempatan ini ia sempat pula melakukan
tukar pikiran dengan orang disana. Hal ini menandakan bahwa kecintaannya
terhadap ilmu pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap hal-hal lain. Empat
tahun kemudian, yakni tahun 803 H Al-Jili berkunjung ke kota Kairo. Dan disana
ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak para teolog,
filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang
berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa Kasyf al-Qina’ an Wujud al-Istima.[16]
Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah,
Palestina, di kota ini ia menulis bukunya dengan judul, al-Kamalat
al-Ilahiyah. Namun setelah kurang lebih dua tahun kemudian, ia kembali lagi
ke kota Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti). Maka pada
tahun 805 H ia kembali ke Zabit dan sempat bergaul dengan gurunya itu selama
satu tahun, karena pada tahnu berikutnya gurunya meninggal.
Diketahui bahwa tahun kunjungannya ke Gazza merupakan tahun
terakhir dari perjalanannya ke luar Zabit. Dari itu, diketahui pula bahwa
sekembalinya dari Gazzah itu ia masih hidup selama lebih kurang 21 tahun dan
masih tetap terus aktif menulis sampai akhir hayatnya.
2.
Karya-Karya Al-Jilli
Sebagaimana riwayat hidupnya, karya-karya Al-Jili pun tidak banyak
diketahui secara pasti, sehingga tidak bisa memperkirakan jumlah yang tepat
dari hasil karyanya itu. Iqbal mengatakan bahwa karya al-Jilli tidak banyak
seperti Ibn al-’Arabi. Iqbal hanya menyebutkan tiga dari kitab-kitabnya, yaitu
suatu ulasan atas karya Ibn al-’Arabi, al-futuhat al- makkiyah, suatu
komentar atas basmalah, dan karyanya yang terkenal al-Insan al-Kamil.[17]
Ada lagi penelitian yang lebih akurat ialah yang dilakukan oleh Haji Khalifah.
Ia mencatat, bahwa Al-Jili telah menulis enam judul karya tulis, yaitu (1) Al-Insan
Al-Kamil Fi Ma’rifat-I al-Awakhir Wa al-Awa’il, (2) Al-Durrah
Al-‘Ayniyah Fi L-Syawahid Al-Ghaybiyah, (3) Al-Kahf Wa al-Raqim Fi Syarh
Bi Ism-I al-Lah Al-Rahman Al-Rahim, (4) Lawami Al-Barq, (5) Maratib
Al-Wujud,(6) Al-Namus Al-Aqdam.
Penelitian Haji Khalifah itu dilengkapi oleh Isma’il Pasya
al-Baghdadi. Ia mencatat lima karya Al-Jilli selebihnya. Dan yang lebih banyak
penemuan diantara dua peneliti sebelumnya mengenai karya-karya al-Jilli adalah
Carl Brockelmann, ia mencatat sebanyak 29 (dua puluh sembilan) judul karya
al-Jilli. Namun, karya-karya yang ingin dikemukakan disini hanya berasal dari
penelitian pertama yang dilakukan oleh Haji Khalifah, yang menurut penulis
masih mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:
a) Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i
al-Awakhir wa al-Awail, buku ini
adalah bukunya yang paling poluler. Karya ini tersebar di Dar al-Kutub
al-Mishriyah, Kairo, beberapa kali diterbitkan maktabah shabihy dan mushthafa
al-Babi al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut. Buku ini mengupas
dengan mendalam konsep insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis.
b) Al-Durrah al-‘Ayiniyah fi
al-Syawahid al-Ghaybiyah, buku ini
merupakan antologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli
c) Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi
Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim, buku
ini merupakan kajian mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar
menurut tafsir sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi yang
berupaya menjelaskan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat
al-Qur’an, di dalam karya ini menjelaskan ayat pertama surat al-Fatihah, huruf
demi huruf, yang menurutnya merupakan lambang-lambang/ simbol-simbol yang mempunyai
makna tersendiri.
d) Lawami’ al-Barq
e) Maratib al-Wujud, buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga
dengan judul Kitab Arba’in Maratib.
f) Al-Namus al-Aqdam, buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan
terlepas dari juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat
disayangkan sebagian besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.[18]
3.
Konsep Insan Kamil Al-Jilli
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata insan dan
kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna.
Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Insan kamil artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata
al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi
filosofi ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul
Karim bin Ibrahim Al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan
menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis. Dan secara
etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua
kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan
beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang
memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena
manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir
dengan lupa.[19]
Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san,
yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia.
Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla
Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain
kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu
tamam (lengkap). Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata
tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap,
namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat,
dan itu lah yang disebut kamil (sempurna).[20]
Al-Jili seperti ibn ’Arabi, memandang insan kamil sebagai wadah tajalli
Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap
wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak,
yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah, dan waktu. Ia adalah esensi
murni, tidak bernama, tidak bersifat, dan tidak mempunyai relasi dengan
sesuatu. Di dalam kesendirian-Nya yang gaib itu esensi mutlak tidak dapat
dipahami dan tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya, karena indera,
pemikiran, akal, dan pengertian mempunyai kemampuan yang fana dan tidak pasti,
hal yang tidak pasti akan menghasilkan ketidakpastian pula. Karena itu, tidak
mungkin manusia yang serba terbatas akan dapat mengetahui zat mutlak itu secara
pasti.
Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada
alam semesta yang serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan
penciptaan alam yang dilakukan oleh tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada
menjadi ada. Menurut Al-Jilli alam ini bukanlah diciptakan Tuhan dari bahan
yang telah ada, tetapi diciptakan-Nya dari ketiadaan (creatio ex nihilo)
di dalam ilmunya. Kemudian, wujud alam yang ada di dalam ilmu-Nya itu
dimunculkan-Nya menjadi alam empiris.
Dengan terjadinya tajalli Tuhan pada alam semesta,
tercerminlah kesempurnaan citra-Nya pada setiap bagian dari alam, namun zat-Nya
tidaklah berbilang dengan berbilannya wadah tajalli tersebut, tetapi Esa
dalam segenap wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, setiap bagian dari
alam ini mencerminkan citra ketuhanan, namun apa yang tampak dalam dunia nyata
hanyalah bayangan dari esensi mutlak itu.
Menurut pandangan Al-Jilli dan juga ibn ’Arabi, Tuhan adalah
transenden dan sekaligus imanen. Al-Jili mengumpamakan hubungan Tuhan dan alam
laksana air dan es (air yang membeku). Tuhan al-Haqq, diumpamakan
sebagai air. Dan alam diumpamakan sebagai es. Dalam menjelaskan perumpamaan
antara ”es” dan ”air” ini, Yusuf Zaydan menyebutkan bahwa Al-Jilli melihat
adanya dua bentuk wujud, yakni wujud haqqi dan wujud khalqi.
Wujud khalqi hanya berupa wujud ”yang dipinjam” dari wujud haqqi. ”Es”
sebagai perumpamaan wujud khalqi hanyalah wujud ”pinjaman”, sedangkan
wujud yang hakiki ialah ”air”, sebagai tamsilan dari wujud haqqi. Jadi,
pada dasarnya hanya ada satu wujud, yakni wujud haqqi, sedangkan wujud khalqi
hanya berupa aspek lahir dari wujud haqqi. Oleh karena itu, di tempat
lain, Al-Jilli menyebut haqqi dan khalqi, atau kulli dan juz’i
sebagai aspek-aspek dari wujud yang satu.
Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli
yang paripurna, sementara di sisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap
jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari
alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika. Selain itu, insan kamil
adalah kutub yang disadari oleh segenap alam wujud ini dari awal sampai
akhirnya dan ia hanya satu, sejak permulaan wujud sampai akhirnya.
Kesempurnaan insan kamil itu tidak lain adalah karena ia merupakan
identifikasi dari hakikat Muhammad. Hakikat Muhammad, yang disebut dalam
istilah falsafah dengan logos, pada dasarnya merupakan arketipe kosmos. Makhluk
memperoleh kesejahteraan pada hakikat ini dan mendapat rezeki dari wujudnya. Ia
juga merupakan arketipe dari Bani Adam, yang semuanya secara potensial adalah
insan kamil, meski hanya dikalangan para nabi dan wali saja potensi itu menjadi
aktual.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi
Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad
(al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam
pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur
(cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.[21]
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi,
disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri
Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan
al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (manusia sempurna dalam konsep
pengetahuan tentang misteri yang pertama dan yang terakhir) mengawali
pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.[22]
Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai
manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan
pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak
tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin
memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin
sempurnalah dirinya.
Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan
kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya.
Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada
dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu
sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan
dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi
manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi Al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna
melalui latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang
Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali
dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai
mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar
biasa.
Kalau Al-Hallaj memandang nur Muhammad itu qadim dan ibn ’Arabi
memandangnya itu qodim dalam ilmu tuhan dan baru ketika ia menyatakan diri pada
makhluk, maka Al-Jili memandangnya baru Nagi Al-Jili hanya ada satu wujud yang
qadim, yaitu wujud Allah sebagai zat yang wajib (pasti, niscaya) ada. Wujud
tuhan dipandang qadim karena Dia tidak di dahului oleh ketiadaan. Al-Jili
menjelaskan, sekalipun wujud yang diciptakan itu sudah ada semenjak qidam
didalam ilmu Tuhan, ia tetap dipandang baru dalam keberadaanya itu, karena ia
”disebabkan” oleh wujud lain yang secara esensialtelah lebih dulu ada, yakni
wujud Tuhan.oleh karena itu, kata Al-Jili, a’yan tsabitah yang ada dalam ilmu
Tuhan bukan qadim, tetapi baru.
Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat
muhammad” atau “nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu
mengaktualisasikan hakikat muhammad itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu
mengaktualisasikannya dalam kehidupan itulah yang disebut dengan Insan Kamil.
Aktualisasi “nur muhammad” dalam pandangan Al-Jili dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat
secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai
dengan dua jalan, jalan pertama disebut Tajjali dan jalan kedua disebut
taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia berikan kepada
manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia
itu sendiri untuk mendapatkan status Insan Kamil.
4.
Proses Munculnya Insan Kamil
Seperti Ibn al-‘Arabi, al-Jili membawa teori tajalli dan taraqqi
dalam proses munculnya insan kamil. Menurut al-jili, tajalli Ilahi yang
berlangsung secara terus-menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat,
di antaranya adalah:
Pertama, Uluhiyah, tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam
proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah merupakan esensi (quidity)
zat primordial dan merupakan wujud primer yang menjadi sumber segala yang ada
dan tidak ada. Nama yang digunakan dalam peringkat ini adalah Allah, karena
dalam pandangan al-Jilli sendiri, sebutan Allah
merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad, yang digunakan
oleh Ibn al-‘Arabi sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah).
Kedua, Ahadiyah, tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah),
dimana tingkatan ini merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi)
yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh
pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang dapat
menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini menurut al-Jilli mengalami tiga
penurunan (tanazzul):
a) Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya
b) Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib
c) Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran
Ketiga, Wahidiyah, dimana pada tahap ini zat Tuhan
menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama), tetapi sifat dan asma
itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih berupa
potensi-potensi dan belum mampu mengaktual secara keseluruhan.
Keempat, Rahmaniyah, pada tahap ini Tuhan ber-tajjali
pada realitas asma dan sifat, dan dengan kalimat “kun” (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang terdapat
dalam tahap wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam
semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena bersamaan
dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan.
Kelima, Rububiyah, dalam tahap ini Tuhan ber-tajjali
pada alam semesta yang sudah mengalami partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah
beragam, khususnya pada diri manusia (sebagai makhluk yang terbatas) untuk
memanifestasikan diri-Nya yang tidak terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya
dalam diri manusia, dan citra Tuhan yang paling utuh bisa kita temukan dalam
diri seorang Insan Kamil. Adapun tajjali ini akan mengalami pantulan yang akan
berbalik arah kearah semula (dari zat sampai perbuatan, kemudian berbalik dan
memantul dari perbuatan menuju zat), pertama tajjali perbuatan (tajjali
al-af’al), kedua tajjali nama-nama (tajjali al-asma), ketiga tajjali
sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali
al-dzat).
Kemudian al-Jilli sendiri dengan kejeniusannya membagi taraqqi kepada
tujuh tingkatan menuju Insan Kamil:
a)
Al-Islam,
dimana pada tingakt ini seseorang harus memiliki identitas keislaman yang mana
identitas itu termaktub dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan
menunaikan ibadah haji bagi yang mampu
b)
Al-Iman,
pada tingkat ini seseorang harus memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah,
Malaikat-Malaikat Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir, dan Qadar
c)
Al-Shaleh,
pada tahap ini seseorang melaksanakan ibadah kepada Allah harus didasari oleh
rasa takut (khawf) dan harap (raja’)
d)
Al-Ikhsan,
dalam tahap ini seseorang harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat, inabah
(tobat dari kelalaian mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, dan ikhlas
e)
Al-Syahadah,
pada tahap ini seseorang akan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan yang
sesungguhnnya
f)
Al-Shiddiqiyah,
pada tahap ini bisa disebut juga tahap makrifat karena seseorang pada tahap ini
akan mendapatkan cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-Nya hingga
zat-Nya, yaitu:
1)
‘Ilm
al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi
disinari oleh asma Tuhan
2)
‘Ayn
al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi
disinari oleh sifat Tuha
3)
Haqq al-yaqin,pada tingakat ini seorang sufi
disinari oleh zat Tuhan
g)
al-Qurbah,
pada tahap ini seseorang akan mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan paling
terdekat dengan-Nya, dan ada empat pendekatan kepada Allah, yaitu:
1)
Al-Khullah, adalah sebuah persahabatan dengan Tuhan, sehingga Tuhan dikenal
secara intim. Dengan demikian sufi senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang
dikehendaki-Nya
2)
Al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara sufi dan Tuhannya, sehingga yang
satu merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya
3)
Al-Khiram, adalah sebuah pencitraan Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi,
tetapi kesempurnaan Tuhan tidak tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena
kesempurnaan-Nya tidak terbatas
4)
Al-Ubudiyah, adalah sebuah penghambaan seorang sufi terhadap Tuhannya, karena
bagaimana pun ia tidak akan dapat menjadi Tuhan.[23]
5.
Kedudukan Insan Kamil
Seperti Ibn al-‘Arabi juga, al-jili
memandang insan kamil berkedudukan sebagai khalifah Tuhan di bumi. Hal itu ada
karena pada diri insan kamil terdapat kemampuan-kemampuan yang melebihi
kemampuan-kemampuan manusia kebanyakan, baik dari segi kepribadian maupun
pengetahuan. Kelebihan itu, tidak lain adalah karena
pada diri insan kamil terealisasi segenap asma dan sifat-sifat Tuhan secara
utuh. Sebagai contoh, al-jili menunjuk Nabi Daud A.S. Ia mempunyai moral dan
pengetahuan yang tinggi, melebihi manusia lain. Apalagi pada diirnya
termanifestasi sifat-sifat afal (sifat-sifat aktif) Tuhan melebihi
sifat-sifat-Nya yang lain. Hal demikian adalah karena kitab zabur merupakan
tajalli dari sifat-sifat afa’l.[24]
D.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan makalah tersebut maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep
tasawuf Ibn al-‘Arabi adalah wahdat al-wujud yang mengajarkan bahwa segala
sesuatu yang maujud di alam ini pada hakikatnya adalah satu yaitu wujud Tuhan.
Sedangkan maujud yang lain hanyalah merupakan bayang-bayang dari wujud yang
satu tersebut.
Kemudian tokoh tasawuf lainnya yang diuraikan
dalam makalah ini adalah al-Jilli yang mengemukakan doktrin tentang insan
kamil yang mengajarkan bahwa Tuhan dapat melihat dirinya dengan jelas dan
hanya insan kamil pulalah yang dapat berkomunikasi dan mengenal Tuhan secara
pasti dan benar. Insan kamil adalah hamba-hamba pilihan yang terdiri dari para
Nabi dan para wali Allah, yaitu kaum sufi yang memiliki hati suci dan bersih.
KEPUSTAKAAN
Ali, Yunasril, Manusia
Citra Illahi, Jakarta: Paramadina, 1997
Asmaran As, Pengantar
Studi Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Azhari Noer,
Kautsar, Ibn Al-‘Arabi Wahdat al-Wujud Dalam Perdebata, Jakarta:
Paramadina,1995
Aziz Dahlan, Abdul, Penilaian Teologis Atas Paham Wahdat
al-Wujud, Padang: IAIN IB Press, 1999
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1984
Isa, Ahmad, Tokoh-Tokoh Sufi: Tauladan Kehidupan Yang Shaleh, Cet.
II, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001
Al-Karim al-Jilli, Abd, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir
wa al-Awail, Juz. 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1975
M. Sholihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf,
Bandung: Pustaka Setia, 2003
................,
Tokoh-Tokoh Muslim Lintas Agama, Bandung: Pustaka Setia, 2003
Nasution,
Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
R. A Nicholson, Studies in Islamic Mysticsm, London: Cambridge
University Press, 1921
Rahardjo,
Dawam, Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Grafiti
Pers, 2985
Sahib Khaja
Khan, Khan, Cakrawala Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press, 1993
Siregar, Rifay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufisme, Jakarta:
PT Grafindo Persada, 2002
Yusuf Musa, Muhammad, Falsafah al-Akhlak Fi al-Islam, Cairo:
Muassisah al-Khaniji, 1963
[1] Rifay Siregar,
Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufisme, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2002), h. 55-56
[2] Ahmad Isa, Tokoh-Tokoh
Sufi: Tauladan Kehidupan Yang Shaleh, Cet. II, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2001), h. 203
[3] Hamka, Tasawuf,
Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 149
[4] Asmaran As, Pengantar
Studi Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 347-348
[5] M. Sholihin, Tokoh-Tokoh
Muslim Lintas Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h.
[6] Muahammad
Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlak Fi al-Islam, (Cairo: Muassisah al-Khaniji,
1963), h. 232
[7] Kautsar Azhari Noer. Ibn Al-‘Arabi Wahdat
al-Wujud Dalam Perdebata, (Jakarta: Paramadina,1995), h. 25-26
[8] Ibid., h.
27-28
[9] M. Sholihin, Tasawuf
Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2003),
h. 154
[10] Kautsar Azhari
Noer, Op. Cit., h. 43
[11] Abdul Aziz
Dahlan, Penilaian Teologis Atas Paham Wahdat al-Wujud, (Padang: IAIN IB
Press, 1999), h. 37
[12]Kautsar Azhari
Noer, Op. Cit ., h. 49-50
[13] Ibid., h.
46-56
[14] Asmaran As, Op.Cit.,
h. 351
[15] R. A
Nicholson, Studies in Islamic Mysticsm, (London: Cambridge University
Press, 1921), h. 81
[16] Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), h. 56
[17] Abd al-Karim
al-Jilli, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail, Juz 1
(Beirut: Dar al-Fikr, 1975),h. 8
[18] Yunasril Ali, Manusia
Citra Illahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 39-48
[19] Dawam
Rahardjo, Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Jakarta: Grafiti
Pers, 2985), h. 109
[20] Khan Sahib
Khaja Khan, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 80
[21] Yunasril Ali, Op.
Cit., h. 121
[22] Hamka, Op.
Cit., h. 111
[23] Yunasril Ali, Op.
Cit., h. 128-146
[24] Al-Jilli
membagi sifat-sifat Allah atas sifat-sifat zat dan sifat-sifat af’al.
Sifat-sifat zat ialah sifat-sifat esensial, yang mengambil posisi sebagai ‘ayn
zat, sedangkan sifat-sifat af’al adalah sifat-sifat aktif yang menjadi
potensi dari af’al Allah. Taurat merupakan tajalli Zabur tajalli sifat-sifat
af’alnya, Injil tajalli sifatzatNya, dan al-Qur’an tajalli sifat-sifat
dan asmaNya secara keseluruhan.
0 komentar:
Posting Komentar