Gerakan Islam dan Tantangan Pendidikan
A. PENDIDIKAN DAN
PERMASALAHANNYA
Dunia pendidikan di Indonesia sejak
zaman orde baru sampai orde reformasi tidak pernah mendapat perhatian yang
selayaknya bila dibandingkan dengan program ekonomi. Berbagai persoalan muncul
namun tidak pernah ada penyelesaiaan yang komprehensif dan terencana. Sehingga
pendidikan sepertinya hanyalah aksesoris tambahan dalam kehidupan bernegara ini
walaupun dalam pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa salah satu dari tujuan
pendirian negara ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping itu
terdapat beberapa hal dalam dunia pendidikan di Indonesia yang juga menjadi problem
bagi kita umat Islam, yaitu :
1. Sekulerisme Pendidikan
1. Sekulerisme Pendidikan
Banyak definisi tentang
sekulerisme, namun yang paling umum adalah pemisahan antara urusan kehidupan
dunia dengan agama. Pemisahan antara aqidah dan moral di satu sisi dengan
syariat di sisi lain. Pemisahan antara wahyu Ilahi yang hanya di beri kekuasaan
pada ritual keagamaan seperti sholat dan puasa, dengan logika manusia yang
diberi ruang kekuasaaan penuh pada seluruh aspek kehidupan seperti, hukum,
pendidikan, ekonomi dan kenegaraan.
Dalam sistem pendidikan di Indonesia,
praktek sekulerisme diaplikasikan dalam bentuk dikotomi antara pendidikan umum
dan pendidikan agama. Sistem pendidikan kita mengenal pemisahan yang tegas
antara sekolah umum dengan sekolah agama. Di satu sisi sekolah umum para
siswanya belajar tentang ekonomi, kedokteran, science, dan hukum tanpa perlu
memahami ilmu keislaman yang paling mendasar sekalipun seperti aqidah, ushul
fiqh, ushuludin, bahasa Arab, ulumul hadits, ulumul qur’an, sirah nabawiyah,
dan lain-lain. Pelajaran-pelajaran keislaman diatas dianggap menjadi tanggung
jawab sekolah agama seperti pesantren, IAIN, dan madrasah.
Selain itu sekolah dengan corak
umum lebih mendapat perhatian baik berupa dana maupun penerimaan di lapangan
pekerjaan bagi lulusannya. Sedangkan sekolah dengan corak agama (Islam)
dibiarkan hidup dengan idealisme saja. Sehingga sering kita jumpai gedung-gedung
sekolah umum berdiri dengan mentereng, sedangkan gedung pesantren, madrasah dan
sekolah berbasis agama Islam berdiri dengan seadanya. Film Laskar Pelangi cukup
menjadi bukti perbedaan yang mencolok antara sekolah Muhamadiyah (Islam) dengan
sekolah negeri dan sekolah swasta untuk para karyawan PT Timah.
Akibat dari kebijakan ini adalah
: pertama, munculnya generasi-generasi muda yang diistilahkan Muhamad Qutb
sebagai Generasi Jahiliyah Modern. Suatu generasi yang meremehkan perintah dan
larangan Allah SWT, generasi yang tidak memiliki pemahaman Islam yang benar.
Muhamad Qutb dalam bukunya Jahiliyah Abad Dua Puluh menjelaskan kesalahan
persepsi umat Islam tentang arti jahiliyah ini. Jahiliyah umumnya dipersepsikan
sebagai lawan dari science, peradaban, nilai-nilai intelektual dan kemajuan
teknologi. Sehingga dengan persepsi ini umat Islam menganggap jika sudah
menempuh jenjang pendidikan tinggi -walaupun tidak mengerti dasar dasar Islam
sekalipun- dianggap bukan jahilyah.
Padahal jahiliyah adalah suatu kondisi
psikologis yang menolak mengambil petunjuk Allah SWT dan sistem yang tidak
berhukum pada apa yang diturunkan Allah SWT. Jahiliyah adalah lawan dari
kesadaran terhadap petunjuk dan hukum Allah SWT. Al-Quran telah menegaskan,
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih
baik daripada hukum Allah bagi orang yang yakin (QS 5:50)
Kedua, sekolah umum menjadi
favorit sedangkan sekolah agama adalah inferior. Dengan fasilitas dan masa
depan yang nampak menjanjikan, masyarakat umumnya cenderung memilih sekolah
sekuler sebagai pilihan pendidikan bagi anak-anaknya. Sehingga sekolah sekuler
menjadi tujuan generasi muda yang cerdas dan mempunyai dana untuk melanjutkan
pendidikan. Sedangkan sekolah agama seringkali dijadikan tempat terakhir bagi
orang tua murid jika ditolak disekolah umum, bahkan tragisnya cenderung
dipersepsikan sebagai tempat rehabilitasi dari generasi muda yang bermasalah.
Pesantren kerap hanya dijadikan tempat pelarian utuk mendidik anak-anak yang
terkena kasus narkoba, hamil diluar nikah, dan anak-anak yang tidak diinginkan
kehadirannya di masyarakat.
2.Dekadensi moral
Pendidikan yang hanya
mengedapankan science dan meremehkan pendidikan Islam terutama tentang akhlak
telah menjadikan generasi muda menjadi korban dekadensi moral yang cukup parah.
Suatu hal yang aneh dekadensi moral justru muncul dari kalangan anak sekolah.
Kasus tawuran antar pelajar, budaya seks bebas dan pornografi kini tidak hanya
terjadi pada kalangan perguruan tinggi namun telah menjalar ke usia sekolah
dasar. Merebaknya penggunaan narkoba dikalangan pelajar, adalah contoh lain
dari dekadensi moral yang sampai sekarangpun tidak ada usaha serius untuk
penanggulangannya.
Pendidikan moral yang bercorak
sekuler yang dikembangkan orde baru melalui pelajaran PMP dan penataran P4
ternyata tidaklah menghasilkan manusia dengan akhlak yang mulia. Corak
pendidikan tersebut terbukti gagal dalam menanggulangi budaya-budaya sampah
yang kesemuanya itu berasal dari budaya barat kapitalis. Namun anehnya walaupun
terbukti gagal gaya
pendidikan sekuler tersebut masih saja dipertahankan sampai sekarang.
3.Swastanisasi dan
mahalnya dunia pendidikan
Pemerintahan era reformasi ini
tampaknya sedang berusaha meliberalkan dunia pendidikan melalui undang-undang
Badan Hukum Pendidikan (BHP). Tampaknya pengaruh ideologi neoliberaisme akan
diterapkan di dunia pendidikan ini dengan cara melepas secara perlahan tanggung
jawab pemerintah dalam menyediakan pendidikan terjangkau dan berkualitas bagi
masyarakat. Pemerintah lupa bahwa penyediaan pendidikan terjangkau dan
berkualitas merupakan amanat UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam tujuan
bernegara dalam pembukaan UUD 1945, yaitu “ mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Kebijakan ini sungguh melukai
rasa keadilan di tengah masyarakat yang sedang ditimpa kesulitan akibat krisis
moneter yang tak kunjung reda sampai dekade terakhir ini. Akibatnya pendidikan
merupakan barang mewah di tengah masyarakat, padahal seyogyanya pendidikan di
era ini telah menjadi kebutuhan primer sama dengan sandang dan pangan. Jika hal
ini dibiarkan bukan tidak mungkin akan terjadi “lost generation”. Kita akan
menghadapi kehilangan generasi penerus bangsa yang akan meneruskan estafet
perjuangan proklamasi. Kita akan set back ke jaman kolonialisme lagi. Jika dulu
kolonialisme masuk ke Indonesia
dengan senjata kini kolonialisme masuk dengan bebas bahkan diberi karpet merah.
Hal ini mungkin saja terjadi mengingat pasar bebas tenaga kerja dan pemikir
asing akan leluasa masuk ke Indonesia
dan akan masuk juga kejantung pemerintahan melalui apa yang disebut AFTA dan
APEC.
4.Sistem kurikulum yang
tak bervisi
Dari jaman orde baru sampai orde
reformasi ini kurikulum pendidikan negeri ini tidak memiliki arah dan visi yang
jelas. Berbeda dengan pembangunan ekonomi, bidang ini lebih memiliki visi dan
arah yang jelas, antara lain dalam orde baru dijabarkan REPELITA. Selain itu
program ekonomi mendapatkan sokongan dana yang bisa dianggap tak terbatas untuk
mencapai visinya.
Sudah menjadi rahasia umum dalam
sistem pendidikan kita, jika ganti menteri maka ganti pula sistem pendidikan .
Terakhir yang menjadi kontroversi adalah tentang dasar kelulusan dari UAN
(Ujian Akhir Nasional) yang telah mendapat kritikan bertubi-tubi namun
pemerintah tampaknya tak bergeming sedikitpun. Kebijakan UAN dinilai tidak
tepat diterapkan sekarang mengingat hal-hal mendasar dalam pendidikan belum
terealisir. Misalnya anggaran pendidikan 20% tidak pernah direalisasikan oleh
pemerintah padahal ini adalah amanat UUD 1945. Gaji guru dan sarana sekolah
yang memprihatinkan adalah dampak dari ketidakpedulian pemerintah terhadap
realisasi anggaran pendidikan ini.
B.GERAKAN ISLAM DAN
MASALAH PENDIDIKAN
Islam sangat berkepentingan
dalam masalah pendidikan terutama bagi generasi mudanya. Allah berfirman: :”Ya
Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rosul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan(ta’lim) kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan (tadzkir)
kepada mereka alkitab (alqur’an), dan alhikmah (assunah) serta mensucikan
mereka, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (QS.2:129).
Ayat diatas menjelaskan kepada
kita bahwa pendidikan merupakan salah satu tugas utama diutusnya para rosul
kepada umat manusia. yaitu: untuk ta’lim (membacakan), tadzkir (mengajarkan) Al
Qur’an dan Sunnah. Tujuan akhirnya adalah tadzkiyath (mensucikan), yaitu
mensucikan manusia dari kekotoran syirik, baik syirik karena menyembah berhala
maupun syirik karena menjadikan hukum selain hukum Allah SWT sebagai hukum yang
mengatur manusia. Mensucikan manusia menuju kepada kondisi sebagaimana para
wali yang mendapat rahmat dari Allah SWT, dan mengatakan bahwa tidak ada ilah
yang berhak disembah kecuali Allah SWT dan tidak ada hukum yang boleh dipatuhi
selain hukum Allah SWT.
Sejak era 80-an ketika regime
orde baru sedang dalam puncak kejayaannya, gerakan Islam umumnya tidak
menjadikan politik sebagai wasilah da’wah dan perjuangannya. Rata-rata gerakan
Islam mengarahkan objek dakwahnya kepada siswa dan mahasiswa di sekolah-sekolah
umum (sekuler). Gerakan dakwah tersebut antara lain berupa diskusi-diskusi
informal tentang Islam. Hal ini dirasa sangat tepat dalam menangkal arus
sekulerisme pada siswa dan dekadensi moral yang mulai menunjukkan trend yang
mengkhawatirkan.
Terbukti pola dakwah ini
menghasilkan sebuah entitas yang komit terhadap ajaran Allah SWT. Diantaranya
adalah mulai bermunculannya keberanian siswa wanita muslimah untuk menggunakan
jilbab di sekolah sekolah sekuler walaupun dalam perjalanannya tidak mulus
karena sering pihak sekolah tidak mentolerir perilaku muslimah ini dengan
berbagai macam alasan. Padahal sebelumnya jilbab selalu diidentikan negatif
seperti kekolotan, anti modernisme ataupun terpengaruh revolusi Iran.
Jika di tahun 70-an banyak
mahasiswa yang gengsi sholat berjamaah di masjid karena takut dicemooh sok
alim, maka di era 80-90-an masjid mulai ramai dikunjungi oleh siswa dan para
mahasiswa. Mesjid tidak lagi diisi kaum tua seperti era 70-an. Selain itu
umumnya para siswa yang tertarbiyah ini menunjukkan ahklaq yang lebih baik,
jauh dari narkoba, seks bebas dan tawuran.
Namun sangat disayangkan keberagamaan mereka umumnya berhenti pada taraf berjilbab atau sering ke mesjid. Mereka merasa cukup “beramal” dan “bersemangat” memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik, sosial, ekonomi. Mereka beranggapan dengan mengaji pada ustad seminggu sekali atau sebulan sekali, dirasa sudah lebih dari cukup, walaupun ustadnya sendiri dari segi keilmuan sering juga terbatas.
Namun sangat disayangkan keberagamaan mereka umumnya berhenti pada taraf berjilbab atau sering ke mesjid. Mereka merasa cukup “beramal” dan “bersemangat” memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik, sosial, ekonomi. Mereka beranggapan dengan mengaji pada ustad seminggu sekali atau sebulan sekali, dirasa sudah lebih dari cukup, walaupun ustadnya sendiri dari segi keilmuan sering juga terbatas.
Pemahaman mereka tidak
dilanjutkan pada pemahaman Islam yang lain yang lebih mendasar dan menjadi
fardhu ain bagi setiap muslim. Sebagian besar mereka tidak merasa wajib untuk
mempalajari ilmu-ilmu Islam mendasar, seperti Ushuluddin, bahasa Arab, ulumul
Qur’an, ulumul hadits, ilmu fiqih, dan sebagainya. Padahal Imam Hasan Al Bana
dalam majmu rosail-nya menjadikan rukun “fahm” sebagai rukun pertama dari
arkanul bait (sepuluh rukun baiat). Khusus bahasa Arab, Imam Syafii menegaskan
dalam kitab Ar Risalah bahwa mempelajari bahasa Arab adalah fardhu ‘ain,
kewajiban setiap muslim. Imam Hasan Al Bana juga dalam majmu rosailnya
menyatakan “ berusahalah sekuat tenaga untuk berbicara dengan bahasa Arab
fasih, karena ia merupakan syiar agama.”
Para pelajar tersebut menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena
otaknya bodoh, tetapi lebih karena mereka beranggapan bahwa ilmu-ilmu Islam
seperti disebutkan diatas adalah wilayah lulusan IAIN dan pesantren. Mereka
umumnya merasa bahwa ilmu sceince yang mereka miliki -seperti ekonomi,
komputer, hukum, fisika dll- sudah merupakan pengamalan dari hadits ” tuntutlah
ilmu dari buaian sampai liang kubur.”
Padahal jika kita telusuri lagi,
para ulama klasik dan kontemporer pada umumnya selain menguasai ilmu dasar
Islam juga menguasai ilmu-ilmu kontemporer pada masanya, sebut saja Ibnu Sina,
Ibnu Khaldun, dan ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb. Dalam bukunya Fi
Zhilalil Qur’an selain memahami penafsiran klasik atas ayat-ayat Al Qur’an,
Sayyid Qutb juga mencoba membandingkannya dengan isme-isme modern yang
mempengaruhi panggung sejarah dunia seperti, komunisme, kapitalisme,
liberalisme, teori Freud, science, sejarah nasrani,dan lain-lain.
Dengan pengetahuan tersebut
ulama-ulama ini mampu menunjukkan ketinggian Al Qur’an dibandingkan dengan
ajaran-ajaran lain. Dengan pengetahuan tentang Islam dan tentang kebhatilan ini
maka mereka dapat menjelaskan mana yang bathil mana yang jalan lurus sehingga
masyarakat paham dan tidak terperosok ke dalam kebathilan tersebut.
Akibat keterpecahan pemahaman
masalah ilmu ini di kemudian hari banyak tokoh-tokoh muda Islam yang kemudian memimpin
partai partai politik Islam melontarkan pemikiran pemikiran dan perilaku yang
aneh dan cenderung menyimpang jika dipandang dari kacamata Al Qur’an dan
Sunnah.
Seperti pernyataan seorang wakil
sekjen partai yang melabeli partainya sebagai partai dakwah, namun menyatakan
bahwa perjuangan syariat Islam adalah agenda masa lalu. Pernyataan ini sama
saja dengan mengatakan bahwa sekulerisme yang terjadi di Indonesia
adalah bisa diterima. Padahal jika kita baca buku Fi Zhilalil Qur’an (Di Bawah
Naungan Al Qur’an ) karya Sayyid Qutb, dijelaskan di banyak bab, bahwa
menjadikan hukum bernegara dan bermasyarakat yang bukan berasal dari hukum
Allah SWT adalah bagian dari pertentangan para nabi dan rosul (sejak nabi Nuh
sampai Nabi Muhammad SAW) dengan para malaul lazi nakafaru (pembesar-pembesar
yang kafir).
C.PENUTUP
Pendidikan yang berimbang antara
ilmu agama dan ilmu “duniawi” adalah modal dasar untuk menghasilkan generasi
muda Islam yang kuat dan tangguh di masa yang akan datang. Generasi yang akan
menggerakkan pembangunan bangsa ini dengan dasar nilai-nilai Islami.
Di masa lalu, kita melihat Partai Syarikat Islam (PSI) dan Partai Masyumi adalah contoh gerakan Islam yang pernah menghiasi sejarah pergerakan Islam di Indonesia dengan tinta emas. Namun dimana mereka sekarang? Mereka terkubur dalam kenangan sejarah. Bandingkan dengan Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama, dua organisasi ini tetap eksis walau berusia hampir seabad.
Di masa lalu, kita melihat Partai Syarikat Islam (PSI) dan Partai Masyumi adalah contoh gerakan Islam yang pernah menghiasi sejarah pergerakan Islam di Indonesia dengan tinta emas. Namun dimana mereka sekarang? Mereka terkubur dalam kenangan sejarah. Bandingkan dengan Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama, dua organisasi ini tetap eksis walau berusia hampir seabad.
Apakah rahasianya? Kaderisasilah
rahasianya. Muhamadiyah mempunyai sekolah agama dari TK,
SD, sampai perguruan tinggi di sebagian kota besar, sedangkan PSI
dan Masyumi hanya fokus pada pergerakan politik dan tidak memiliki
sekolah-sekolah agama. Nahdatul Ulama mempunyai pesantren-pesantren di berbagai
daerah, sedangkan Masyumi dan PSI tidak memiliki sebanyak yang dimiliki
Nahdatul Ulama.
Mengkaderisasi memang jauh dari
hingar-bingar dan hura-hura politik. Jalan kaderisasi adalah jalan panjang dan
melelahkan. Sebagai penutup, kita perlu merenungi kembali pernyataan Syeikh
Mustafa Mansyur dalam Fiqh Dakwah, “Ada
penyelewengan yang dapat menjauhkan dakwah dari jalan yang benar, yaitu
memandang enteng terhadap peranan tarbiyah (kaderisasi), pembentukan dan
beriltizam dengan ajaran Islam dalam membentuk asas yang teguh. Kemudian
tergesa-gesa kita mempergunakan cara dan uslub politik menurut cara dan sikap
partai politik.
Kita akan mudah terperdaya
dengan kuantitas anggota dan dianggap menguntungkan tanpa mewujudkan iltizam
kaderisasi (tarbiyah). Inilah salah satu jalan dan cara yang sangat berbahaya
dan tidak dapat dipercaya hasilnya dan tidak mungkin menelorkan anasir- anasir
yang kukuh dan mampu memikul hasil kemenangan dan kekuatan untuk Islam.
Sebenarnya umat Islam tidak
kekurangan kuantitas tetapi telah kehilangan kualitas. Kita telah kehilangan bentuk
dan keteladanan manusia muslim yang kuat imannya, yang membulatkan tekad untuk
berda’wah, rela berkorban pada jalan da’wah dan fisabilillahdan senantiasa
istiqomah sampai akhir hayatnya.”
Wassalamu’alaikum wr wb
Wassalamu’alaikum wr wb
0 komentar:
Posting Komentar